Attraction Is Not Like Grocery Shopping

24.6K 2.3K 143
                                    

Gavin memang mengantarnya sampai di depan pintu, tapi dia mencium kening Amia di mobil. Bukan melakukan di depan pintu rumah. Sepertinya sudah tahu kalau Adrien akan membuka pintu sambil mengasah golok.

"Aku tidak ingin kalian ribut." Amia berdiri di antara Adrien dan Gavin.

"Masuk, Mia!" Adrien membuka pintu lebar-lebar.

"Setelah Gavin pergi." Amia tidak mau beranjak. Ketegangan di antara dua laki-laki itu terasa sekali. "Kak, tolong...."

"Masuk!"

Amia menggertakkan giginya. "Fine."

"Telepon aku kalau sudah sampai di rumah," katanya pada Gavin.

Sebelum Amia berjalan masuk ke kamar, Adrien berteriak di belakangnya.

"Apa yang ada di kepalamu? Kamu pulang hampir tengah malam bersama laki-laki? Apa saja yang kamu lakukan di luar sana sama dia? Mama dan Papa dari tadi cemas anaknya nggak pulang-pulang."

Tidak ada yang meragukan ketegasan Adrien soal jam malam Amia.

"Aku sudah dewasa. Bukan anak umur sepuluh tahun lagi. Aku sudah ngerti apa yang bisa kulakukan dan tidak." Amia menjawab, dia sudah memberi tahu mamanya kalau dia akan pergi dengan Gavin. Walaupun Amia sendiri tidak menyangka bahwa dia akan pulang semalam ini hanya karena ketiduran.

"Karena kamu sudah dewasa makanya kami khawatir, kamu pikir Gavin itu orang yang meniduri anak kecil?"

"Aku nggak tidur sama Gavin, memangnya Kakak pikir aku nggak tahu batas?" Amia tidak tahan untuk tidak ikut berteriak. Menutupi kekhawatirannya karena tebakan Adrien hampir benar. Dia tidak tidur dengan Gavin, tapi tidur di tempat tidurnya.

"Apa kamu ingin punya pacar?" Adrien merendahkan suaranya.

Amia diam tidak menjawab.

"Bilang laki-laki seperti apa yang kamu mau. Teman-temanku yang tidak berengsek seperti Gavin itu banyak. Lebih baik dari Gavin. Berkali-kali aku bilang jangan sampai menyukainya."

Mana mungkin aku bisa nggak suka sama Gavin? Amia menyahut dalam hati. Tidak diberi perhatian khusus saja, Amia terpesona padanya.

"Mia, aku bilang jangan dekat-dekat sama Gavin. Aku tahu kamu pasti akan suka sama dia. Kamu tumbuh dan besar di sini, bersamaku. Aku tidak akan salah kalau menduga kamu suka laki-laki sepertiku."

Mungkin lima puluh persen tepat. Sosok laki-laki yang dicarinya adalah yang seperti Adrien. Yang tahu caranya bersenang-senang dan tahu sampai di mana batasnya, dan berakhir dengan mencintai Daisy sepenuh hati.

"Ya udah sih, Kak. Aku bukan menikah sama Gavin ini. Aku cuma jalan sama dia."

"Amia! Aku kenal Gavin lebih lama daripada kamu. Gavin itu suka orang polos seperti kamu ini. Dia tidak sembarangan membawa wanita ke tempat tidur. Apa kamu pikir dia tipe orang yang membawa pulang cewek-cewek yang ditemui saat party? Tidak. Fuck buddy-nya adalah cewek kutu buku, paling pintar di kelasnya.

"Kamu tidak tahu bagaimana Gavin bragging bahwa cewek­cewek itu masih perawan saat tidur dengannya. Cuma ditiduri dua tiga bulan, lalu dicampakkan. Dia bukan orang yang akan memenuhi imajinasimu tentang cinta, Mia." Adrien mengeluarkan ceramah panjang.

"Aku tahu. Kalau aku patah hati, aku sendiri yang menanggung. Aku nggak pernah nangis-nangis ke Kakak kalau patah hati selama ini." Amia tidak mau mendengarkan Adrien, dia ingin percaya pada mata Gavin yang menyuruhnya percaya.

"Amia. Aku hanya ingin memastikan kamu mendapatkan laki-laki yang terbaik, yang membuatmu bahagia. Buat apa kamu pacaran sama dia kalau nanti kamu patah hati?"

"Aku nggak tahu apa aku akan patah hati atau nggak, kalau nggak nyoba. Kenapa sih, Kak? Sekali aja biarkan aku memutuskan sesuatu untuk diriku sendiri. Kenapa Kakak selalu mikir aku ini masih anak-anak?" Amia sudah lelah dengan sikap Adrien.

"Kamu ini tidak tahu terima kasih, ya? Seharusnya kamu bersyukur masih ada yang peduli sama kamu, kebahagiaanmu, keselamatanmu. Gavin atau siapa pun di luar sana belum tentu peduli sama kamu."

Amia terdiam. Ada sesuatu yang terasa mencekik lehernya.

"Ya, Kakak benar ... memang nggak akan ada yang peduli padaku, bahkan orangtuaku sendiri ... mungkin juga Gavin ... maaf, Kak, kepalaku pusing ... aku ke kamar dulu." Amia me­milih masuk ke kamar sambil menangis, hatinya terasa sakit setiap memikirkan betapa banyak yang sudah dilakukan keluarga ini untuknya, sedangkan dia tidak bisa membalas apa-apa. Bahkan untuk sekadar berterima kasih pada Adrien, yang bersedia marah-marah untuknya. Perhatian yang membuatnya merasa bahwa dia punya keluarga, orang-orang yang mengkhawatirkannya.

"Mia. Tolong buka pintunya. Aku minta maaf." Terdengar ketukan di pintu kamarnya.

"Maksudku bukan seperti itu, Mia. Tolong buka. Aku mau bicara."

Amia belum ingin menjawab.

***

Good night.

Gavin tersenyum membaca pesan masuk dari Amia. Ciuman keduanya dengan Amia tadi tidak terlalu buruk. Sampai detik ini, Gavin tidak akan pernah mau menjawab kenapa dia menyukai Amia. Dia harus memberikan alasan apa? Berapa banyak? Attraction is not like grocery shopping. Gavin tidak sedang menuliskan pada selembar kertas apa saja yang dia butuhkan dari seorang wanita lalu memberikan tanda cek jika kriteria-kriteria tersebut ditemukan pada seorang wanita. Dia hanya menyukai Amia. Sesederhana itu.

Jam di sudut kanan laptopnya menunjukkan pukul satu dini hari. Kebiasaan buruknya sejak masih kulian dulu. Engineer bukan orang yang diciptakan untuk tidur di malam hari. Mereka diciptakan untuk tidur siang hari. Di dalam kelas. Atau di kantor. Gavin membaca posting-posting di forum alumni.

Ada temannya yang menghabiskan hidup sebagai engineer di Nvidia, perusahaan pembuat prosesor komputer, dan merasa kesepian sampai putus asa, lalu mem-posting sebuah foto robot dengan caption: I build my own friend. Benar-benar menggelikan. Tinggal menunggu waktu sampai anak bodoh itu bercinta dengan robot buatannya.

Adrien juga ada dalam forum itu. Perkenalannya dengan Adrien juga dimulai dari sini. Saat Adrien memasang iklan bahwa dia mencari teman untuk share apartemen. Gavin menghubungi Adrien dan Adrien menampungnya. Bagaimana mendekati gadis, bagaimana mengisi liburan dengan mencari uang, bagaimana bergabung dengan sebuah pesta, bagaimana bergaul di sana, bagaimana mengatasi profesor di mata kuliah Signal Processing, dan banyak hal lain, dia ketahui dari Adrien.

Dia selalu mengagumi seniornya itu, yang pernah bekerja di Cisco System—perusahaan yang menyediakan infrastruktur komunikasi, delapan puluh lima persen lalu lintas internet di dunia lalu-lalang melalui sistem mereka. Apalagi saat melihat Adrien menetap di sini dan hidup bahagia bersama wanita yang dicintai dan mencintainya.

Gavin memilih kuliah dengan peminatan yang berbeda dari Adrien dan tidak pernah bergabung dalam kehidupan prestisius bersama Adrien dan teman-teman mereka di perusahaan raksasa. Gavin lebih menyukai pekerjaannya yang sekarang. Apa gunanya hal-hal yang diciptakan Adrien dan teman-temannya tanpa listrik yang dibuatnya? Death-end.

Sejak pertemuannya dengan Adrien yang tidak terlalu menyenangkan sore itu, saat mengantar Amia pulang tadi, mereka baru bertemu lagi. Adrien membuka pintu, menyuruh Amia masuk dan hanya mengingatkan Gavin, "Amia harus sudah ada di rumah sebelum jam sepuluh malam."

####

BELLAMIATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang