Chapter 2

318 25 4
                                    

4 tahun kemudian...

"Fatih!", seseorang memanggil namaku, nama yang aku sematkan di belakang nama ayahku 4 tahun yang lalu, ketika aku resmi memeluk agama ini.

Pemuda yang tadi memanggil namaku semakin mendekat. Dia adalah guruku, kakakku, saudaraku, dan sahabatku. Orang yang membimbingku di jalan ini, jalan yang mempertemukanku pada cinta yang sesungguhnya, cinta kepada Sang Pemilik Cinta.

"Assalamu'alaikum.", aku tersenyum menyambut kehadirannya.

"Wa'alaikumussalam. Hey, apa yang terjadi dengan tubuhmu? Kau tampak lebih kurus. Baru satu bulan aku meninggalkanmu, kau sudah jadi begini. Bagaimana jika aku menikah dan tidak bisa mengurusmu lagi huh?", aku hanya tertawa kecil mendengar ucapannya yang sudah seperti ibu-ibu.

"Bagaimana Jepang?", aku mencoba mengalihkan pembicaraan.

"Banyak yang ingin kuceritakan padamu. Kita ngobrol sambil makan siang saja ya? Ikou.".

Aku menurut dan menyerahkan kunci mobil yang tadi kugunakan untuk datang menjemputnya ke bandara ini.

"Kau tahu...", Keito memulai percakapan ketika kami telah tiba di sebuah cafe tak jauh dari bandara, "Ryu-chan sekarang sudah mulai bisa berjalan. Bahagia sekali rasanya saat melihat tingkah lucunya."

Keito menyodorkan ponselnya dan menunjukkan foto seorang bayi laki-laki. Kirishima Ryu namanya. Putra pertama dari pasangan Kirishima Kouta dan Miyazaki Fujiko. Kou-sama memeluk agama Islam beberapa bulan setelah kami berhasil menghancurkan Hell Diamond, dan dua tahun lalu ia menikah dengan kakak sepupu Keito, Miyazaki Fujiko-san.

Aah, aku lupa mengatakan bahwa sekarang aku sudah tidak lagi memanggil Keito dengan Keito-senpai. Tentu saja bukan karena keinginanku, Keito sendiri yang memintanya. Agar kami lebih akrab, itu alasan yg ia katakan.

"Kapan kau akan kembali ke Jepang?", Keito bertanya sambil menyeruput minuman yang ia pesan.

"Aku sedang memikirkannya."

"Jangan terlalu lama, sudah 4 tahun kau tidak pulang kan? Aku yakin banyak yang merindukanmu."

Aku tidak menjawab. Aku sendiri juga tidak mengerti apa alasanku untuk terus-terusan menunda kepulanganku ke Jepang. Aku hanya merasa belum siap untuk bertemu mereka. Itu saja.

"Aku juga bertemu dengan Rei. Dia tampak sibuk sekali dengan perusahaan barunya. Meskipun begitu dia selalu berusaha mencari tahu keberadaanmu. Aku benar-benar merasa bersalah karena tidak bisa memberitahunya."

"Gomen, aku akan memberitahunya saat aku sudah siap."

"Baiklah baiklah, aku percaya kau tahu apa yang terbaik untukmu. "

Aku tersenyum mendengar jawaban Keito. Dia memang sahabat yang baik.

"Aku juga sempat menghadiri pameran lukisan Hikaru-sama minggu lalu. Benar-benar hebat, kau tau kan betapa kerennya karya-karya Hikaru-sama.", Keito berhenti sejenak, membiarkan potongan cake yang baru saja ia kunyah tertelan sempurna.

"Yuto dan Yuri juga tidak kalah hebat, aku bertemu dengan mereka saat berkunjung ke Diamond High School."

Aku hanya membalas dengan tersenyum sambil terus mengunyah makanan di hadapanku. Tentu saja aku tahu. Meskipun sudah 4 tahun aku tidak kembali ke Jepang, bukan berarti aku tidak mengikuti perkembangan negeri kelahiranku.

"Bagaimana keadaan Kei-sama?", aku bertanya ketika piring di hadapanku sudah berhasil kukosongkan.

Keito menghela nafas mendengar pertanyaanku. Ia meneguk isi gelasnya sebelum menjawab.

"Belum ada perkembangan yang signifikan. Meski sudah melewati masa kritis, tapi beliau masih belum sadarkan diri."

Aku mengalihkan pandangan ke langit biru yang ada jauh di balik jendela kaca di sampingku. Aku masih mengingat jelas wajah Kei-sama, wajah yang selalu ceria dan meneduhkan. Aku belum sempat mengucapkan maaf dan terima kasih padanya.

"Fatih...", Keito memecah keheningan yang sempat tercipta di antara kami.

"Hmm?", aku menyahut dan menatap Keito yang duduk di hadapanku. Ia tampak agak gugup.

"Dia... menerimanya.", Keito berkata dengan malu-malu.

"Ha?", aku masih belum mengerti arah pembicaraan Keito yang tiba-tiba berubah.

"Ano... kau ingat? Aku pernah mengatakan padamu sebelum aku pergi bahwa tujuanku kembali ke Jepang selain untuk menjenguk keluargaku juga untuk melamar seorang gadis.".

"Aah, iya, aku ingat. Gadis itu menerima lamaranmu?"

Keito mengangguk dengan senyuman lebar di wajahnya.

"Alhamdulillah...", aku turut senang melihat wajah bahagia sahabatku ini. "Siapa gadis beruntung itu?"

Ia tersenyum malu sebelum menyebutkan sebuah nama, "Ai."

"Ai?", aku mengulang nama yang Keito sebutkan.

Keito mengangguk. "Kirishima Aisyah. Kau masih mengingatnya kan? Dia menerima lamaranku dan kami akan menikah tiga bulan lagi, insyaAllah."

Jantungku berdegup sangat kencang ketika mendengar nama gadis itu. Gadis yang namanya pernah terukir di hatiku beberapa tahun yang lalu. Dan entah kenapa ada rasa sakit yang juga kurasakan di salah satu relung hatiku ketika mendengar kalimat yang Keito ucapkan.

Tidak tidak. Aku tidak boleh seperti ini. Aku memaksa detak jantungku untuk kembali tenang. Meski rasa sakit itu masih ada, tapi aku berusaha untuk tersenyum, hanya dua kata yang bisa kuucapkan saat ini...

"Omedetou, Keito."

End of Flashback

to be continued...

***

Ikou : ayo
Omedetou : selamat

Ai no AiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang