"Daijoubu desu ka?", aku mengambil tempat tepat di samping Kei-sama yang kini sudah dalam posisi duduk bersandar di atas ranjang miliknya.
"Daijoubu.", ia menjawab sembari tersenyum lembut padaku.
"Ano, sejak kapan...", aku berhenti sejenak, bingung mencari-cari kata yang tepat untuk kugunakan.
"Dua hari yang lalu, Alhamdulillah."
"Alhamdulillah..."
"Bagaimana rasanya berdakwah di pelosok Jepang?", Kei-sama bertanya padaku.
"Eeh? Bagaimana anda bisa tahu?", aku mengeryitkan dahiku.
"Tentu saja aku tahu, aku menghabiskan dua hari ini untuk mengupdate semua informasi yang tidak kuketahui selama aku tertidur. Hehehe.", pria di hadapanku ini tertawa kecil. Sama. Ia tak berubah sama sekali, masih tetap ceria seperti dulu.
"Pantas saja.", aku tersenyum sebelum melanjutkan. "Tentu tidak bisa dikatakan mudah mengajak orang lain ke dalam Islam. Ada banyak rintangan dan cobaan. Tidak jarang kami diusir, dicemooh, dianggap gila, atau bahkan dianggap menyebarkan ajaran berbahaya. Ditambah lagi pengaruh Islamphobia yang juga mulai masuk ke negeri ini. Tapi, tidak sedikit juga yang Alhamdulillah Allah bukakan hatinya untuk menerima Islam. Bahagia sekali rasanya melihat seorang nonmuslim bersyahadat dan kemudian memeluk agama Islam."
"Kadang merasa berat memang. Tapi, ketika mengingat betapa beratnya perjuangan Rasulullah saw. dahulu dalam memperjuangkan Islam, malu rasanya, rintangan dan cobaan ini sungguh tidak ada apa-apanya. Dan Allah juga sudah berjanji, siapa yang menolong agama Allah maka Allah akan menolongnya dan meneguhkan kedudukannya (Qs.Muhammad:7)."
"Jadi, kami tidak akan pernah lelah, sampai lelah itu kelelahan mengikuti kami. Kami akan terus berjuang untuk memperkenalkan Islam, satu-satunya agama yang Allah ridhoi, agama yang rahmatan lil'alamin kepada seluruh Jepang, bahkan kepada seluruh dunia.", aku berhenti sejenak.
"Aaah, gomennasai, aku terlalu menggebu-gebu.", aku menundukkan kepalaku dan meminta maaf pada Kei-sama yang termangu di tempatnya sambil tersenyum menatapku.
Kei-sama tidak mengatakan apapun. Tangan kanannya menepuk pundakku lembut dan ia kembali tersenyum.
Hening sejenak. Aku tidak tahu lagi apa yang harus aku ucapkan.
"Oh iya, kau sudah menikah?", tiba-tiba Kei-sama memecah keheningan di antara kami dengan topik baru.
"Eeh? Menikah?", aku memiringkan sedikit kepalaku, tanda bahwa aku bingung dengan pertanyaan Kei-sama yang tiba-tiba ini.
"Iya, kau sudah menikah?", ia mengulang kembali pertanyaannya.
Aku menggeleng. "Belum. Naze desu ka?"
"Sudah ada wanita yang ingin kau nikahi?", Kei-sama bertanya lagi tanpa menjawab pertanyaan yang kuajukan.
Aku mengeleng lagi.
"Baguslah. Ada seorang gadis yang menurutku cocok untukmu. Kau mau menikah dengannya?"
"Eeeeh?", ada apa ini? Kenapa tiba-tiba bertanya hal ini padaku? Tentu saja aku juga ingin menikah seperti Keito, laki-laki mana yang tidak ingin menyempurnakan separuh agamanya dengan menikah.
"Dia gadis yang baik, ceria, cerdas, dan sangat penyayang."
"Apakah dia mencintai Allah dan Rasul-Nya?", aku bertanya dengan hati-hati.
"InsyaAllah.", Kei-sama menjawab dengan mantap.
Aku berpikir sejenak. Entah kenapa ada yang aneh di dalam diriku. Perasaan apa ini? Aku bahkan tidak pernah mengenal gadis yang sedang kami bicarakan, tapi kenapa tiba-tiba jantungku berdegup kencang dan aku merasa gugup begini.