twee

1.5K 168 27
                                    

Aku sangat kesal dengan cucu teman kakekku itu. Beraninya ia membiarkan aku menunggu di Bandara selama ini? Aku sudah memikirkan kata-kata yang pas untuk mengatai orang penjemputku itu. Namun..ketika melihat papan putih bertuliskan "Martin Garrix - Belanda" dipegang oleh seorang gadis, pikiranku kalut seketika.

Tubuhnya semampai, dengan rambut brunette panjang. Senyumnya terlihat ragu, saat aku menghampirinya. "Kau Martin Garrix?" tanyanya sambil melemparkan senyum bersalah. Aku mengangguk.

"Uh syukurlah kau masih menungguku." gadis itu masih berkata-kata. Tak mengertikah ia bahwa aku lelah? Aku butuh istirahat. Aku membuang wajahku, malas mendengar basa-basi gadis itu.

"Aku minta maaf, jalanan sangat macet sore ini, aku sama sekali tidak―"

"Diamlah, kau begitu berisik." Potongku cepat. Cerewet. "Cepat antar aku, aku sudah tidak tahan disini."

Ia lalu berbalik, aku mengikutinya. Oh, lihatlah kaki jenjang itu. Kaki panjang yang ingin sekali aku raih. Oke, she's hot.

Fucking hot.

Tak lama ia menghampiri mobil Mini Cooper putih, yang ku yakini itu memang mobilnya. Ia membuka bagasi, lalu menaikkan koperku. Aku masuk ke mobilnya, menghiraukan gadis itu.

Gadis itu pun memasuki mobil, menyalakannya dan mulai mengemudi. Tidak jelek untuk pemula sepertinya.

Ia memutar musik, suatu musik yang sangat membuatku mengantuk. "Lagu sampah macam apa ini?" komentarku.

"Akustik, dan―Hey. Ini bukan lagu sampah." katanya, sambil membesarkan volume musiknya.

Demi apapun, lagu ini begitu aneh. Begitu pelan dan..tidak cocok untukku. Aku mendengar senandung kecil, yang pastinya berasal dari gadis itu. Ia menyanyikan lagunya, juga mengangguk-anggukan kepalanya seiring nada lagu itu berbunyi.

Tak lama, mobil berhenti di sebuah Rumah putih tingkat. Aku turun, meninggalkan gadis itu bersama koperku. Aku butuh tidur sekarang.

*
Uh, apakah ia tidak bisa bersopan santun sedikit saja? Sepertinya aku membenci Martin. Gayanya terlalu sok, pandangannya tajam, dan selalu berkata-kata kasar. Sepertinya ia harus bersekolah berkata-kata terlebih dahulu.

Aku mengangkut kopernya, lalu membawanya masuk ke Rumah. Aku melihat Mom sedang membersihkan karpet dengan vacum cleaner ditangannya. "Mana Martin, Mom?"

"Di Atas. Sepertinya dia terlalu lelah. Ia langsung menanyakan letak kamar tidur." kata Mom sambil menaikkan bahunya. Bukan terlalu lelah, tapi memang tidak sopan!

"Dasar tak tahu sopan santun!" aku mengumpat. "Sudahlah." Mom tersenyum tipis, lalu melanjutkan membersihkan rumah. Dan..aku lupa akan koper Martin yang masih aku bawa-bawa.

Aku mengangkutnya dengan susah payah, menuju ke Kamarnya. Kamarnya sudah tertutup, sepertinya ia benar-benar ingin tidur. Aku mengetuk pintunya lumayan kencang, berharap si empu membukanya. Namun, setelah ketukan ke enam, pintu itu tetap bergeming.

"Heeey! Martin! Bukalah pintunya!" seruku. Mengetuk pintunya lebih kencang lagi. Tak lama, pintu itu dibuka dan terlihatlah pemuda shirtless sambil menunjukkan muka mengantuk dan kesalnya.

"Shut the fuck up!" serunya. "Shut up? Kau memintaku menutup mulut? Heeey! Lain kali turunkan kopermu sendiri!" seruku. Menendang koper Martin ke arah pemiliknya.

"Fuck. Bisakah kau diam? Tak mengertikah kau jika aku sangat mengantuk?" Martin membuka pintunya lebar-lebar. Ia memukul daun pintu kesal sambil mengangkut kopernya.

"Jika kau bisa bersopan santun aku tidak akan bersikap seperti―" BRAK! Pintu kamarnya ia tutup secara tidak santai. Jika saja aku tidak mundur, bisa-bisa hidungku terkena sasaran empuknya.

"Whatthe―" Aku menggumam. Aku memutuskan, menanamkannya pada diriku, mulaidetik ini: Aku membenci Martin fucking Garrix!![]

how martin met sarah   +garrix (completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang