twintig

1K 122 17
                                    

Aku memasukkan baju-bajuku kedalam koper. Yah, besok aku akan pergi pulang ke Belanda. Rasanya, belum lama aku di L.A.

Sebelum datang kesini, memang itu yang kuinginkan; mendapat karir yang bagus, dan memacari semua gadis yang aku suka.

Tapi, sekarang berbeda.

Aku menyukai Aster sekarang. Dan itulah yang membuatku berat meninggalkan Los Angeles.

Tiketku sudah siap, dan aku memandanginya sedih. Aku benar-benar tidak habis pikir dengan pikiran pendek Nick―no sex before marry―yang terlalu mengekang.

Bahkan itu hanya ciuman bukan sex.

Entahlah mungkin ia hanya berciuman saja dengan Anne lalu Aster lahir :>

Terserahlah, yang pasti semuanya sudah terlanjur sekarang.

Aku melihat Aster sedang berdiri di pintu, wajah menyesal terlihat di wajahnya.

"Hey, ada apa?" Tanyaku, mencoba tersenyum. Aster menghampiriku, duduk di ranjangku sambil memegang pundakku lembut, "kau benar akan pergi?"

"Yah, seperti yang Dad-mu inginkan." Kataku, lalu menutup resleting koper. "Are you sure? Kau tidak ingin bicara sesuatu pada Dad? Mungkin..ia mau mendengarkanmu dan mengijinkan kau tinggal."

Aku tersenyum, walau dalam hati aku yakin Nick tidak akan mau mendengarkanku bicara. Bahkan melihat wajahku saja ia sudah membatin. "Tidak akan mungkin, Aster. Kita memang dijodohkan tapi kita tidak jodoh."

Aster menunduk, "tapi kita saling menyukai."

"I know." Aku mengusap puncak kepalanya lembut, "sepertinya kita harus move on, Aster."

"Bagaimana dengan LDR?"

Aku terdiam. Pilihan yang bagus, sih. Tapi bagaimana kalau kami khilaf? Bagaimana kalau aku cheating tanpa sepengetahuan Aster?

"Kalau aku selingkuh bagaimana? Aku tidak bisa menjamin, Aster." Aku menunduk. Bagaimana pun juga...tidak mudah move on secepat ini.

"Ingat, jika aku dan kau ditakdirkan bersama pasti kita akan bertemu lagi. Jika kita bertemu lagi...aku akan menjadikanmu kekasiku, I promise."

Aku dapat melihat mata Aster berbinar-binar. God, itu yang membuatku sangat berat menunggalkan L.A. Terlebih meninggalkan gadis didepanku ini.

Aster memelukku hangat, aku membalas pelukannya. Ia menarik dirinya lagi, lalu menoleh kearah pintu kamarku. Sepertinya ia takut Nick memergoki dan aku makin dibenci. "Besok aku akan berusaha mengantarmu ke Bandara."

"Kau yakin?" Tanyaku. Sepertinya dampaknya bakal sangat membahayakan. "Tentu. Aku akan mencari cara."

Aku tersenyum. "Okay."

"So...aku akan kembali. Kau tidak mau mengucapkan sesuatu, gitu?" Tanya Aster. Aku terkekeh, "selamat malam, Aster. Mimpi indah."

Aku mengecup pelipisnya lembut, ia tersenyum sambil berjalan pergi, lalu menutup pintu kamarku perlahan.

*
Aku dan Martin punya rencana.

Ia akan keluar rumah 2 jam lebih dahulu dari jadwal penerbangannya, jadi aku bisa beralasan pergi dengan Lily.

Yah, tapi..aku tidak sepenuhnya berbohong. Aku memang mengajak Lily mengantarku ke Bandara, jadi aku tidak sendiri. Lagipula..Lily memang ingin bertemu Martin, 'kan?

"Mom, Dad, aku pergi. Aku pergi dengan Lily." Kataku. "Jangan bohong, dear." Kata Dad.

"Of course. Kalian bisa tanya Lily nanti. Aku pergi sebentar saja. Dah." Aku mengambil kunci mobilku, lalu pergi dengan mengebut ke Rumah Lily. Lily yang sudah siap di depan Rumahnya, langsung naik ke Mobilku dengan antusiasnya.

"Lalu, kenapa Martin pulang? Bisa kau bercerita padaku? Ayolah, kau menjanjikannya kemarin!" Lily mengguncang bahuku. Dasar cerewet, makiku.

Aku menceritakan kejadian kemarin dari A sampai Z, dan Lily mengangguk mengerti. Ia tertawa pada bagian 'Dad-benci-Martin-karena-kami-berciuman', yang membuatku memukul kepalanya keras. Teman yang sangat jahat.

Sampai ceritaku habis, aku belum sampai-sampai ke Bandara. Aku lupa kalau ini Saturday Night, pasti kota akan sangat ramai karena semua orang ingin bermalam minggu.

Sampai bandara, aku tahu pesawat Martin akan berangkat 20 menit lagi. Aku mencari Martin, dan beruntungnya kami tidak perlu mencari lama-lama.

"Fuck Aster. Kau sangat lama."

"Maaf, aku terjebak macet." Kataku. "Apa kau akan berangkat? Pesawatmu tidak di delay?" Kuharap jawabannya 'iya'.

Sialnya, Martin menggeleng.

"Pesawat American Airlines akan berangkat 15 menit lagi. Diharap penumpang segera memasuki pesawat. Sekali lagi....."

Belum juga lama. Tapi kenapa pesawat sialan itu memanggil-manggil.

"Yah, pesawatku sudah memanggil, As." Martin memberikan senyum terpaksanya. Aku menatap matanya dalam-dalam. "Is it over? Can you stay a little while?"

Martin menggeleng. "But I believe we can met again someday."

Aku tersenyum. "Aku bukan one night stand-mu, 'kan?"

"Tentu bukan." Martin memelukku. "I love you."

"I love you too." Kataku, sambil melepas pelukan. Martin mencium bibirku lembut, sepersekian detik langsung ia lepaskan, "tidak ada ayahmu, 'kan?"

Aku terkekeh. "Jelas tidak."

"Baiklah, aku pergi. See you again, Aster." Martin berjalan menjauhiku sambil melambaikan tangannya. "See you, Martin."[]


Fuu apa ini
Tijel sekali

how martin met sarah   +garrix (completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang