"Ryan!"
Tanpa sengaja aku menarik tangannya hingga tubuh kami berdekatan dan tidak memiliki jarak. Sungguh, aroma parfumnya membuatku mabuk. Rasanya tidak ingin berpisah darinya. Menatap wajahnya dari sedekat ini tidak akan pernah membuatku menyesal. Aku berharap bisa menghentikan waktu dan terdiam seperti ini sampai aku puas.
"Coming with me, Goddess? Or do you want to keep arguing with your friends?" tanya Ryan tanpa merubah posisi sama sekali.
"I'm coming with you," jawabku tersenyum lebar--yang tentu akan mengakhiri adegan kami ini. Dia ikut tersenyum lalu menggenggam tanganku hingga masuk ke mobil.
"Terus, temen kamu gimana?" tanyanya setelah selesai memasang sabuk pengaman.
"Biarin aja, Aphy itu genit, dia ngincer kamu," kataku dengan nada seperti sedang mengadu.
"Terus kenapa kalau dia ngincer aku?" Pertanyaannya membuatku sadar ke dunia nyata. Dia bukan siapa-siapa lo, The.
"Uhm, yaa, kasian kamunya. Dia tuh playgirl, suka nyoba-nyoba cowok," kataku, mencari-cari alasan. Masa aku harus bilang, kalau aku suka sama Ryan? Enggak mungkin, kan.
"Sama aja kaya dewi Aphrodite." Kesimpulan yang tepat.
"Mau tau kisahnya?" tanyaku, yang sangat gatal ingin menceritakannya kepada Ryan.
"Boleh."
"Singkatnya sih, dulu ibuku itu pencinta mitos Yunani, terus ayahku ngajak pindah rumah. Katanya, anak baru rumah baru. Kebetulan, tetangganya juga sama-sama hamil muda, jadi ibuku memengaruhi tetangganya buat ngasih nama anak dewa atau dewi yunani. Yaitu aku, Aphy dan Hera. Tanpa sadar, kita tuh menghayati banget. Liat aja Aphy, cowok tuh jadi toys buat dia, dan dia cantik banget, kan? Jujur deh sama aku."
"Iya, tapi dia bukan tipeku. Aku enggak terlalu suka cewek genit."
"Tuh kan, nah, habis itu ada yang namanya Hera. Dia itu pencemburu dan pendendam banget, tapi masih aja setia sama pacarnya. Dan terakhir ada aku, Athena yang ateis terhadap semua pria," jelasku tentang asal-usul kami.
"Goddess." Aku menoleh ketika Ryan memanggilku. Dia mengambil tanganku, kemudian menggenggamnya. Untungnya, saat ini sedang lampu merah. "Kamu bakal menghayati nama kamu sendiri sampai kapan?" Dia menggenggam tanganku semakin erat walaupun sudah lampu hijau. Dia menyetir dengan satu tangan.
"Nikah itu penting nggak, sih? Kalo nggak penting, I'll always be single," jawabku, yang menurutku sendiri terdengar sangat sarkastik. "Kalau penting, nanti aku bakal nikah, kok." Kali ini, aku yang menggenggam tangan Ryan dengan cukup erat. Itu kode, ngomong-ngomong. Aku maunya menikah dengan Ryan, titik.
"I'll wait, Goddess," katanya sambil mencium keningku. Awalnya aku terkejut menerima ciumannya, tetapi lama-kelamaan, aku bisa menerimanya dan merasakan kehangatannya mengalir di tubuhku.
"Okay...," kataku pas disaat mobil berhenti di depan kampus ku. Aku langsung keluar dari mobil dan meninggalkannya. Hampir saja aku terjatuh akibat terburu-buru. Semoga dia tidak memperhatikan aku yang sedang salah tingkah.
[]
Kejadian tadi pagi ternyata tidak membuat hubunganku dan Aphy renggang. Kadang Aphy memang suka berlebihan jika berurusan dengan pria, tapi kalau urusan sahabat menurutnya itu adalah yang paling utama. Malahan, Yoga mulai terbiasa denganku dan kami mulai mengobrol seperti teman biasa. Tidak salah juga berteman dengan Yoga--dia orang yang baik jika. Dan dia sesekali terdiam jika kami membicarakan Ryan. Maklum, lah, karena cemburu. Aphy bilang, Yoga menyukaiku dan aku sadar akan hal itu, tetapi dia tetap hanya akan menjadi temanku selama masih ada Ryan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Goddess
Teen FictionAthena, Aphrodite, dan Hera. Tiga gadis biasa yang sangat menghayati nama mereka sebagai dewi Yunani. Athena, yang ateis terhadap semua pria. Aphrodite, yang sangat suka memainkan pria. Hera, yang pencemburu dan pendendam. Setelah terjadi sebuah per...