Aku merutuk kesal.
Hingga saat ini pun aku masih ingin mengomeli semua orang karena ulah dua suster tadi. Sialan! Mereka benar-benar memandikanku dengan handuk kecil kasar itu. Rasanya aku ingin mengubah mereka menjadi batu ketika mereka menatap mataku dengan senyuman sok ramahnya itu.
"Goddess, udah sampai." Suara Ryan membuyarkan fantasi liarku tentang berperang dengan dua suster iblis itu. Akhirnya, kami sampai di lobi apartemen milik Ryan. Entah dijampi-jampi apa olehnya, ayahku menyetujui pendapat Ryan untuk mengurusku di apartemennya hingga sembuh.
"Aku beneran enggak ngerepotin kamu, kan?" Tanyaku pada Ryan. "Nanti aku bantu bersih-bersih deh."
Kami memasuki apartemen Ryan. Dia mempersilakanku masuk dan menyuruhku duduk di sofa ruang televisi. Apartemennya tidak terlalu besar, paling tipe 36 yang isinya dua kamar. Awalnya aku mengira pria seperti Ryan memiliki kediaman yang mewah tiada tandingannya, namun ternyata perkiraanku salah. Sebelum aku duduk di ruang televisi, aku sudah melewati dapur dengan meja makan bar. Yah, cocok lah, untuk tinggal sendiri atau berdua.
"Enggak, Goddess, sebentar lagi pembantuku ke sini," ucap Ryan. Pantas saja rumahnya rapi--ternyata dia punya pembantu.
Selagi Ryan merapikan barang-barangku yang sempat kami ambil dari rumahku beserta obat-obatanku (tega sekali aku), aku bangkit dari sofa dan berjalan untuk melihat di mana Ryan menyimpan bajuku. Kamarnya terasa sangat nyaman, dengan king size bed yang terlihat sangat empuk, lemari besar yang dapat memuat bajuku, dan TV yang besar.
Di salah satu nakas, terpajang sebuah foto Ryan dengan seseorang. Kuambil foto itu dengan tangan kiri ku yang tidak si perban, lalu kuperhatikan. Dia terlihat memeluk wanita yang terlihat sangat manis. Entah kenapa, aku merasakan panas di dalam dadaku.
Tidak. Aku tidak cemburu, bahkan aku senang melihat mereka berdua senang. Mungkin perasaan ini efek samping dari obat.
"Dia udah meninggal." Ryan yang sudah berada di sampingku, mengambil foto itu dengan lembut.
"Yang bener? Padahal dia manis banget," ucapku tak percaya. Pasti Ryan sangat sedih ketika wanita itu meninggal, karena kelihatannya mereka berdua sangat bahagia.
"Dia memang sangat manis." Ryan membenarkan sambil meletakkan foto itu kembali ke tempatnya. Panas di dadaku kembali datang ketika mendengar ucapan Ryan. Apakah efek samping obat sesakit ini?
[]
"Haloo, Athena, gimana keadaan lo?"
Aphrodite meneleponku ketika aku sedang asyik menonton, dengan Ryan di ujung sofa. Untungnya, Ryan dengan sigap mengambilkanku earphone. Tangan kananku yang sedang di gips ini sungguh menyusahkan.
"Biasa aja, ngapain lo nelepon gue malem-malem?"
"Gue cuma mau tahu keadaan lo. Udah 'gitu-gitu' sama Ryan, belom?"
Pertanyaan bodoh Aphrodite membuatku tersedak air putih yang kuminum, hingga Ryan menengok.
"Kucingnya Hera muntaber," alasanku kepada Ryan. Itu bohong, tentu saja. Tidak mungkin aku mengatakan bahwa, aku tersedak karena Aphy menanyakan hal gila kepadaku.
Ryan hanya menjawab dengan anggukan sebelum kembali menonton televisi, dan aku sadar dia menggeser posisinya mendekatiku.
"Lo gila, ya? Enggak mungkin lah, gue bakal 'gitu-gitu' sama Ryan. Gue bukan lo." Kini aku mengecilkan suaraku karena takut didengar Ryan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Goddess
Teen FictionAthena, Aphrodite, dan Hera. Tiga gadis biasa yang sangat menghayati nama mereka sebagai dewi Yunani. Athena, yang ateis terhadap semua pria. Aphrodite, yang sangat suka memainkan pria. Hera, yang pencemburu dan pendendam. Setelah terjadi sebuah per...