Closer

275 30 2
                                    

Setelah membeli pakaian, tak ada satupun dari kami berempat yang mengeluarkan suara selama perjalanan menuju Starbucks. Sesampainya di Strabucks pun, Aphy dan Lukas izin ke toilet dan aku sudah tidak peduli apa yang akan mereka lakukan.

"Selamat siang! Mau pesan apa?" tanya salah satu barista nya. Aku hanya terdiam menatap Ryan, yang juga balas menatapku. Sedari tadi, Ryan menggenggam tanganku dengan erat, tetapi aku selalu berdiri agak jauh darinya (setidaknya tidak menempel).

"Goddess, kamu mau ap--"

"Itu ciuman pertamaku!" ucapku tiba-tiba, memotong pertanyaan Ryan. Dia menatapku heran sambil mengangkat satu alisnya. Aku tidak peduli orang di sekitar yang memperhatikan kami, bahkan pelayannya pun ikut terbengong. Aku hanya ingin melepas kekesalanku.

"Aku minta maaf, Goddess. Kita omongin itu nanti. Sekarang, kamu mau pesen apa?" kata Ryan, yang terdengar seperti sedang menenangkan anak kecil. Aku tetap terdiam, tidak mau menjawab pertanyaan Ryan.

Dia menghela napas, lalu melihat lihat ke sekeliling. "Mbak, boleh pinjem spidolnya?" tanya Ryan kepada pelayan itu. Si pelayan mengangguk, kemudian memberikan spidol yang selalu dibawanya di saku celemeknya.

Ryan menarik tanganku agar aku mendekat dengannya, tetapi aku tidak menurut. Akhirnya, dia yang mendekatiku. Diangkatnya tangan kananku, lalu dia menulis sesuatu di semen gipsku. Setelah selesai menulis, dia menatapku sambil tersenyum.

Maaf ya, Sayang. Itu akan terulang lagi nanti sama aku. Cuma aku.
You're mine. -Ryan Spencer

Aku tidak bisa tidak tersenyum. Lagi-lagi aku merasa pipiku memanas--dan lagi-lagi Ryan tertawa, tetapi kali ini sambil mengelus pipiku.

"Green tea latte," kataku cepat sebelum meninggalkan Ryan untuk mencari tempat duduk yang tidak ramai dengan orang. Aku tidak sanggup menahan jantungku yang sedang kejang-kejang seperti keracunan, sehingga rasanya aku juga ingin kejang-kejang. Aku berusaha menahan tanganku yang bergetar dengan menggigit kuku-kuku jemariku.

"Thena!"

"Shit! Lo bikin gue kaget, tau enggak? Mana Lukas?" Sekuat tenaga, aku berusaha bersikap santai dan tidak salah tingkah. Walaupun aku tahu, Aphy bisa mengetahuinya--entah dengan dukun apa.

"Lagi pesen minuman sama Ryan. Itu ap--oh my God!" Yap, Aphy sudah membaca tulisan di tanganku. Tinggal tunggu saja tanggapan bodohnya.

"Lo udah ngelakuin sex sama Ryan?!"

Bodoh.

"Enggak usah nyamain hubungan lo sama gue," ucapku menyindir. Dia tersenyum kecil sambil memegang daguku lembut. Kutatap mata sahabat terdekatku itu.

"Dari mata lo aja, gue tahu lo belom siap, The. Tapi, lo suka, dan lo cuma belom terbiasa aja," jelasnya dengan tenang. Tumben sekali, gadis pemain pria ini tidak emosi. Padahal, bertengkar adalah rutinitas kami.

"Kalau sebentar lagi gue berubah, lo kapan?" tanyaku. Aphy terlihat terkejut mendengar pertanyaanku. Cepat-cepat, dia menutupinya.

"Ini minumanmu, Goddess." Ryan dan Lukas datang sambil memberikan minuman kami. Aku tersenyum kepada Ryan, kemudian menyesap minuman kesukaanku itu.

GoddessTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang