Vote and Comment★
Crystal segera berpamitan kepada Om Radian--ayahnya Dion, dan juga Tante Rita untuk segera pulang. Wanita paruh baya itu menatapnya sedih. Namun apa boleh buat? Crystal juga tidak bisa berada di rumah ini terus. Ia memiliki keluarga sendiri. Kehidupan sendiri. Dan bagaimanapun juga, rumah Nasa ratusan juta kali lebih nyaman daripada rumah mewah bergaya klasik ini.
Dion memperhatikan Crystal dengan tatapan yang tidak terbaca. Hingga ia merasakan senggolan di lengannya. Bukan hanya sekali, namun berkali-kali. Ia menoleh, mendapati Mamanya yang sedang memandangnya kesal. "Kenapa kau diam saja? Sana antar Crystal pulang!" perintahnya setengah berbisik, membuat lelaki itu sedikit terperanjat. "Seharusnya tanpa disuruh pun kau harus melakukannya." Rita tersenyum masam.
"Kenapa harus Dion, Ma? Kan ada Pak Sugi," jawabnya malas. Dion masih stres karena semalam ia benar-benar tidak bisa tidur dengan tenang. Dan ia yakin kalau kini kedua matanya pasti tidak ada bedanya dengan panda.
"Kau ini, bodoh sekali! Kenapa Mama bisa punya anak sepertimu ya?!" Rita menggertakan giginya geram. Dion yang melihatnya langsung mundur selangkah.
Dion memutar bola matanya. "Iya, iya Dion yang nganterin." Ia mendengus pasrah. Sudahlah, ini lebih baik daripada diam-saja-menunggu-perang-dunia-ketiga-dimulai. Dion tahu persis bagaimana sikap Mamanya saat keinginannya tidak dipenuhi. Jika Dion tidak menurut, maka ia harus mempersiapkan dirinya untuk menghadapi badai besar, petuah selama sehari semalaman penuh.
Rita terkekeh geli. "Gitu dong. Ini baru yang namanya gentle."
***
Keheningan dalam mobil menyelimuti mereka berdua. Dion masih fokus menyetir, sementara Crystal sedang menghadap ke arah jendela mobil. Dion melirik sekilas, Crystal sepertinya mengantuk. Angin yang mengibaskan rambutnya sama sekali tidak ia hiraukan. Malahan angin itu semakin menerpa, yang kini menuju wajahnya. Membuat rasa kantuknya bertambah. Berkali-kali Crystal memejamkan matanya, lalu membukanya kembali, mencoba tetap terjaga.
Dion tertawa kecil. Ntah mengapa wajah polos Crystal terbayang di benaknya lagi. Saat study tour kelas IX dulu, ntah berapa tahun yang lalu.
Crystal memasang headset di telinganya. Mulai terhanyut oleh lagu-lagu favoritnya yang diputar di ponselnya. Sesekali ia menganggukkan kepalanya, menikmati alunan nada yang tercipta. Ia terus bersenandung pelan.
Dari belakang, Dion memperhatikan gadis itu. Gadis itu duduk di kursi terdepan dalam bus hanya karena ingin menikmati semilir angin dari celah jendela yang terbuka. Dion tersenyum kecil melihat Crystal yang sedang membenarkan rambutnya yang berantakan karena tertiup angin. Setelah gadis itu mengikat rambutnya, ia kembali melanjutkan aktivitasnya.
"KYAAAAA!!!"
Teriakan Crystal sukses membuat seisi bus menoleh padanya. Ada yang panik, kaget, penasaran, ikut heboh, bahkan sampai yang tidak peduli sama sekali. Dion sontak langsung bangkit dari duduknya. Lalu Crystal menunjukkan cengiran tak berdosanya.
"Kenapa kau teriak-teriak?"
Wajah Crystal bersemu merah. Ia melepas headsetnya. "Gimana aku ga teriak. Itu, oh yaampun ... dia itu gemesin banget! Suaranya apalagi, ga nahan. Dan barusan dia ngedipin mata gitu, bikin kadar ketampanannya makin nambah ajaaa Oh My God!!!" Crystal terus memuja-muja Artis Korea di dalam video yang ia putar.
Dion berdecak. Lagi-lagi itu. Apa sih yang bikin Crystal terhipnotis sampai begitu mengagumi artis itu? Bahkan jika diperhatikan, Dion jauh lebih tampan daripada lelaki yang berada di video itu. Dion yang kelewat pede itu berasumsi sendiri.
KAMU SEDANG MEMBACA
You're My Destiny [On Hold]
RomanceKenapa? Kenapa ini semua harus terjadi? Kenapa di detik-detik pertunanganku Deon malah pergi? Dan kenapa juga kejadian itu harus di depan mataku? Kenapa Tuhan? Ini tidak adil. 3 tahun aku hidup seperti ini. Mengurung diri, jarang berbaur dengan siap...