Hello I'm back!
Boleh minta vote dan komennya untuk cerita ini? Just one ... please.
Aku ga maksa sih, yasudahlah /plak/Selamat membaca^^ enjoy~
Wanita yang masih bergelayut mesra di lengan Dion itu menoleh ke arah Crystal, menatapnya tajam. Cystal menggigit bibir bawahnya, dalam hati ia merutuki kekesalan dirinya sendiri.
"E-eh a-anu maaf saya lancang," ucap Crystal tergagap. Ia menunduk, menyembunyikan rasa malunya. "Kalau begitu, saya keluar dulu. Sekali lagi maaf."
"Tunggu!" Kilahan Dion membuat langkah Crystal terhenti. Ia berbalik, melihat Dion yang sepertinya sedang mengisyaratkan wanita di sebelahnya untuk segera pergi. Dan benar, wanita itu berdiri, lantas berjalan ke arah pintu.
Dia berhenti sejenak, melihat ke arah Crystal dengan tatapan tidak suka. Lalu pergi ke luar dengan gayanya yang seperti model namun dibuat-buat.
"Maafkan kelakuan pegawaiku." Dion memulai pembicaraan. "Jangan berpikiran macam-macam di antara kami, dia bukan siapa-siapa."
Crystal tidak mengindahkan perkataan Dion. Lagipula apa urusannya dia dengan wanita itu? Kalaupun benar mereka adalah sepasang kekasih, biarkan saja. Tidak ada yang melarang.
"Ada urusan apa kamu ke sini?" Crystal masih belum membuka mulutnya. Ia mendengus mendengar pertanyaan Dion yang lebih tepatnya pernyataan untuk mengusirnya secara halus. Yang benar saja.
Namun ia teringat dengan Tante Rita yang menyuruhnya mengantarkan sarapan untuk Dion. Dengan ragu, Crystal mendekatkan dirinya menuju meja kantor lelaki itu. Ia meletakkan sebuah kantung plastik berisikan kotak sarapan tepat di hadapannya. Dion menautkan alisnya. "Apa ini?"
"Mamamu bilang katanya kamu berangkat pagi sekali, jadi belum sarapan." Crystal berjeda, menghela napas panjang. "Makannya aku datang ke sini membawakan sarapan untukmu."
Dion terdiam, kemudian ia tertawa sinis. "Saya bukan anak kecil yang manja. Jadi tidak perlu dibawakan bekal."
Crystal meringis kecut. "Sudahlah jangan mengelak. Saya tahu anda lapar. Jangan pura-pura menolak hanya karena saya yang membawakannya." Crystal merengut kesal. Sepertinya lelaki di hadapannya ini sudah terlalu lama tinggal di luar negeri sehingga Crystal harus berbicara sedikit formal padanya.
"Lagian untuk apa mama menyuruhmu mengantarkan sarapan," gerutu Dion pelan, namun masih terdengar oleh Crystal.
"Mamamu tidak menyuruh saya. Saya yang ingin." Sepertinya berdiam diri lama-lama di hadapan Dion hanya dapat menguras emosi. Ntah kenapa dia membuat Crystal semakin jengkel. Ingin secepatnya mangkir dari ruangan yang seperti kulkas ini.
Cystal mengeratkan lengan di pinggangnya. Memangnya berapa suhu yang disetel oleh AC di ruangan ini? Sampai-sampai hawa dinginnya menembus kulit mulusnya. Apa ini karena Crystal yang norak sebab selalu hidup pas-pasan, seadanya? Ya, mungkin ia lebih akrab dengan kipas angin dibandingkan AC.
"Oiya, satu lagi." Crystal meletakkan segelas kopi panas yang baru saja di belinya di Cafe Cholata sebelum ia menuju kantor Dion. Lelaki itu mengernyit. Melihat tatapan Dion yang seperti itu akhirnya Crystal membuka mulutnya kembali.
"Saya tahu pasti anda tidak mau minum susu. Makannya saya belikan kopi." Sebenarnya bukannya Dion tidak menyukai susu. Justru setahu Crystal, ketika mereka SMP Dion selalu memasukkan susu ke daftar 'wajib diminum' olehnya setiap hari.
Namun karena perawakan tubuhnya yang sekarang, dengan tinggi yang hampir menembus 185 cm, tentu saja Dion harus menghindari minuman itu. Kalau tidak pasti tubuhnya akan terus bertambah tinggi. Bahkan tinggi Crystal hanya bisa mencapai leher lelaki itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
You're My Destiny [On Hold]
RomanceKenapa? Kenapa ini semua harus terjadi? Kenapa di detik-detik pertunanganku Deon malah pergi? Dan kenapa juga kejadian itu harus di depan mataku? Kenapa Tuhan? Ini tidak adil. 3 tahun aku hidup seperti ini. Mengurung diri, jarang berbaur dengan siap...