Dion tampak fokus menyetir sambil mendengarkan musik klasik yang sedang berputar di CD Player mobilnya. Ia mengernyit, memelankan laju mobilnya saat melihat sebuah buket bunga yang lumayan besar berada di tengah jalan. Tentu saja sangat mencolok. Lagipula bunga itu terlihat masih segar dan rapi. Mengapa ada orang yang membuangnya di tengah jalan?
Dion menghela napas berat, akhirnya ia memberhentikan mobilnya. Ditatapnya bunga itu sejenak, lalu memperhatikan sekitar jalanan yang kosong.
Dion berniat akan mengambil bunga itu daripada didiamkan tergeletak di tengah jalan, terlindas oleh mobil-mobil yang lewat. Lagipula ini kebetulan, Dion sedang menuju rumah ibunya untuk melepas rasa rindu karena sudah 7 tahun tidak bertemu. Ibunya menyukai bunga, dan tidak ada salahnya bukan mengambil bunga itu? Toh, tidak ada siapapun di sini.
Sebenarnya Dion sudah pulang ke Indonesia dari seminggu yang lalu setelah menghabiskan sekolah bisnisnya di Aussie. Lelaki itu kembali ke tanah kelahirannya untuk melanjutkan perusahaan ayahnya, mengingat pria paruh baya itu sudah terlalu rentan untuk mengurus perusahaan yang bisa dikatakan sangatlah besar.
Namun karena Jason, sahabat lamanya yang sangat merindukan sesosok Dion menyuruhnya untuk mampir ke rumahnya. Dion baru mempunyai waktu untuk bertemu dengan orangtuanya saat ini. Jason adalah lelaki yang kesepian, terlalu larut dalam permasalahnya yang sangat rumit hingga membuatnya terpuruk.
Maka dari itu Dion tidak bisa meninggalkannya begitu saja, ia memutuskan untuk singgah di apartemen sahabatnya itu.
Dion meraih bunga itu. Sesaat sebelum ia akan masuk ke mobilnya, samar-samar Dion mendengar suara rintihan perempuan. Lebih terdengar seperti menjerit meminta pertolongan.
***
"Serahkan uangmu pada kami sekarang!" Preman itu menatap Crystal tajam sambil menodongkan sebuah pisau tepat di depan keningnya. Crystal menggeleng cepat, "Tidak! aku tidak punya uang!"
Preman itu menatapnya dari bawah sampai atas. Dia mendengus kasar, Crystal semakin ketakutan di tatapnya seperti itu. Crystal memperdalam tundukkannya, tetapi tangan kasar preman itu menaikkan dagunya hingga kembali mendongak ke atas. Namun kali ini lebih tinggi, ia bisa melihat dengan jelas seringaiannya yang sangat menantang itu.
"Kalau begitu sera--"
"APA?!" Crystal membentak keras, mencoba terlihat berani walaupun ia sangat ketakutan. Wanita itu meronta, mencoba melepaskan cengkramannya dari preman itu. Namun apa dayanya, Crystal sangat lemah dibandingkan dengan kekuatan kedua preman di hadapannya.
"Lepaskan wanita itu!"
Seorang lelaki tiba-tiba menghampiri mereka, membuat preman itu mendecih dengan tatapan yang membara karena sudah mengganggu kegiatannya. Crystal tidak bisa melihat dengan jelas siapa yang datang karena kedua matanya memburam, menahan air mata yang tergenang di pelupuk matanya.
Dia menangis.
"Mau jadi pahlawan kesiangan, hah?" Preman itu nampak tidak peduli dengan kehadiran Dion.
Dion mengerang frustasi, preman itu tidak menuruti permintaannya melainkan membanting tubuh wanita itu ke tanah.
Dion menggertakan giginya geram. Preman itu menodongkan pisaunya tepat ke depan mata Dion, namun secepat kilat ia menangkisnya. Dion terlihat kalap menghajar preman itu yang kini sudah tergopoh-gopoh kelelahan. Kesalahan mereka sendiri karena menantang Dion yang sangat menguasai ilmu bela diri. Walaupun dia berlatih saat SMA, tetapi Dion masih mengingat dengan jelas. Di balik ketampanannya, otaknya juga mempunyai kemampuan di atas rata-rata.
Kedua preman itu berlari dengan wajah yang penuh memar, serta darah yang keluar dari sudut bibirnya, meninggalkan Crystal dan Dion di lorong sempit itu. Dion yang panik segera menghampiri wanita itu. Tubuhnya masih bergetar, Dion membantu wanita itu untuk berdiri. Saat wajah mereka saling bertatapan, Dion tertegun.
"Crystal ..."
Dion semakin tidak percaya apa yang sedang dilihatnya. Crystal, wanita yang dulu sangat ia cintai, yang selama ini selalu mengisi hatinya. Wanita itulah alasan sebenarnya ... Dion bersedia melanjutkan kuliahnya di luar negeri.
Sungguh, bagaikan belati yang sedang menusuk jiwanya perlahan. Bertemu lagi dengan wanita yang sudah memantapkan tekad Dion untuk menghindarinya jauh-jauh. Hatinya mencelos ketika mengetahui kebenaran bahwa Crystal menyukai saudara kembarnya, Deon. Padahal Dion sudah mempunyai perasaan lebih kepada Crystal semenjak mereka masih menginjak bangku SMP.
Dan sekarang, apakah perasaan itu masih ada?
Crystal sama terpakunya saat melihat wajah lelaki itu. Namun yang dilihatnya bukanlah orang asing, melainkan...
"D-Deon...?"
Anggap saja ia sudah gila. Tapi ini nyata, lelaki itu ... lelaki yang sangat ia rindukan. Wajahnya, tatapan matanya, penampilannya, sama persis. Crystal sudah tidak dapat membendung air matanya lagi. Ia menangis, menyentuh pipi lelaki itu lembut.
Di sisi lain, bagaikan ribuan jarum yang menhujamnya. Mengapa Dion merasa miris saat Crystal menyebut namanya dengan nama Deon? Apa karena perasaannya yang dulu masih ada?
Dion tergelak, dia harus bisa menepis perasaannya itu. Ini tidak boleh terjadi. Bagaimanapun juga, Crystal telah mematahkan hatinya berkeping-keping. Dion menghela napas panjang, "Aku bukan Deon, tapi Dion." Kata-kata itu akhirnya keluar juga dari mulutnya meskipun berat untuk mengatakannya.
Crystal tercenung, menatap lelaki itu lekat-lekat. Ia sangat yakin bahwa orang yang ada di hadapannya ini adalah Deon, kekasihnya. Seketika Crystal melihat ada raut wajah sedih yang berusaha ditutupi di sana.
"Deon ... apa kau kembali untukku?"
Tanpa sadar pertanyaan Crystal membuat wajah Dion memanas, amarahnya kian memuncak. "Sudah kubilang, aku Dion! Dan jangan sebut nama itu lagi di depanku!" ucapnya setengah berteriak yang sukses membuat Crystal diam seribu bahasa.
Sepersekian menit berlalu, pikirannya masih menerawang. Bagaimana dia bisa lupa pada Dion? Bahkan Crystal lebih dulu mengenalinya sebelum dia mengenal Deon. Karena Dion adalah sahabatnya ketika mereka masih kecil. Crystal ingat saat mereka sering bermain bersama. Sampai saat ketika Crystal dekat dengan Deon, saudara kembarnya. Dion perlahan menjauhinya tanpa sebab. Persahabatan mereka seperti retak begitu saja.
Kemudian Crystal tersadar, ada tatapan yang berapi-api terpancar di mata Dion. Membuat Crystal bergidik ngeri, melepaskan pegangan tangan Dion di bahunya. Lelaki itu masih memberikan tatapan tajam. Crystal mendesah pelan, betapa bodohnya ia saat ini karena masih belum bisa melupakan Deon. Dan karena wajah mereka yang sangat mirip, ingatan Crystal tentang Deon terkupas kembali.
"Maafkan aku," lirih Crystal pelan. Ia menunduk, kemudian berjalan meninggalkan Dion yang kini sedang menaikkan alisnya. Baru beberapa langkah ia berjalan, kepalanya sudah berdenyut-denyut. Crystal menyentuh keningnya, merasakan pusing yang amat sangat, dan sepertinya sudah menjalar. Dari belakang, Dion terlihat cemas melihat tubuh wanita itu yang sudah terhuyung ke belakang dan ke depan tidak beraturan.
Crystal merasakan pandangannya mulai memburam. Ia bisa merasakan seseorang menangkap tubuhnya sebelum jatuh ke tanah. Dan perlahan ... semuanya menjadi gelap.
TBC. Bersambung ke part 3
KAMU SEDANG MEMBACA
You're My Destiny [On Hold]
RomanceKenapa? Kenapa ini semua harus terjadi? Kenapa di detik-detik pertunanganku Deon malah pergi? Dan kenapa juga kejadian itu harus di depan mataku? Kenapa Tuhan? Ini tidak adil. 3 tahun aku hidup seperti ini. Mengurung diri, jarang berbaur dengan siap...