Just...

944 30 0
                                    

Selamanya, sahabat akan tetap menjadi sahabat. Tidak akan pernah berubah menjadi kekasih, atau bahkan musuh sekalipun.

Kecuali jika Tuhan yang merubahnya.

***

Sivia tersenyum simpul, cukup manis. Ekspresi alami yang keluar dari bibirnya tatkala ia sedang merasa bahagia seperti yang ia rasakan saat ini. Lalu menarik napas pelan-pelan. Kedua matanya berbinar saat ia selesai menempelkan sebuah foto di samping curahan hatinya yang sengaja ia tulis di sebuah buku. Buku unik berwarna merah jambu kesukaannya atau yang lebih dikenal banyak orang dengan sebutan diary book.

Siswi kelas XII di sebuah SMA ternama di Jogja ini masih duduk-duduk manis saja di kursinya, tidak peduli dengan suasana kelasnya yang sudah kosong tanpa penghuni sejak bel istirahat berbunyi delapan menit yang lalu. Di mana anak-anak yang lain saling berebut tempat di kantin atau sekedar untuk membuang napas jengah di luar kelas, Sivia malah terlalu enjoy dengan bukunya bahkan sampai senyum-senyum sendiri seperti orang gila baru.

"Davino Verassya. Hmm... dia lagi, dia lagi. Kenapa sih selalu foto dia yang gue lihat di buku lo? Sekali-kali foto gue kek yang ditempelin di buku lo itu. Toh gue juga gak kalah keren kan dari dia? Payah lo ah!"

Sivia kembali menarik napas ditambah dengan kedua matanya yang berputar. Lantas berdecak. Rasanya cukup jengah tentu saja saat mendengar sebuah ucapan menyebalkan yang baru saja masuk ke dalam telinganya. Ucapan dengan inti yang sama yang selalu ia dengar enam bulan terakhir ini. Sejak pertama kali Sivia mengenal sosok Rassya lebih jelasnya. Anak kelas X ter-catchy yang pernah Sivia ketahui selama hidupnya. Dan anak kelas X yang menyadarkan Sivia kalau cinta itu tak bisa lagi memandang usia.

Lalu ia menengok dengan lirikan yang cukup sinis ke arah seseorang tadi. "Ini kan buku gue, jadi ya terserah gue dong mau nempelin foto siapa? Lagian kenapa sih hidup lo protes mulu bisanya? Heran deh!" sungutnya.

Setelah bersungut ria, Sivia pun menggeser duduknya. Tentunya untuk memberi tempat duduk kepada cowok yang tadi tiba-tiba datang dan berkata dengan super percaya dirinya itu. Kenzio Alvin. Anak kelas tetangga sekaligus sebagai sahabat terdekat Sivia saat ini. Ralat! Sejak PAUD lebih tepatnya.

Cowok yang akrab dipanggil Alvin itu kini duduk di samping Sivia. Tatapannya terlampau jelas menerkam ke arah wajah gadis berpipi tebal tersebut. Meskipun begitu, Sivia tetap masa bodoh dengan kembali beralih memandangi foto yang ada di bukunya itu.

Alvin berdesis, "Bukannya protes sih, ya gue cuman sirik aja gitu sama tuh anak. Seumur-umur gue belum pernah tuh lihat lo nempelin foto gue atau apa gitu di buku lo. Iya kan?" umpatnya kemudian.

"Gila aja bro, rajin amat gue nempelin foto lo. Kaya gak ada kerjaan lain aja." cetus Sivia tajam.

Sedetik, sebelum Sivia sempat menarik napas di akhir kalimatnya, Alvin sudah mendaratkan kepalan tangannya di ubun-ubun gadis tersebut.

"Alvin, sakit tau!" rintih cewek itu saat merasakan jitakan keras di kepalanya.

"Suruh siapa lo kejem bener sama gue? Huh!" gerutu Alvin kemudian. Kali ini ia beralih menyenggol kasar pundak Sivia.

"Ish! Lo tuh ya kalau jadi cowok gak ada lembut-lembutnya amat sih sama cewek? Ngeselin!"

Alvin menyeringai, "Kalau gak ngeselin ya bukan Kenzio Alvin namanya." lalu tertawa tidak jelas.

"Udah ah sana jauh-jauh dari gue! Huusss!!!"

"Gak mau." tolak Alvin yang kemudian dengan sengaja menggeserkan duduknya secara cepat. Membuat Sivia semakin terpepet ke dinding dekat mejanya.

"Alviiiiiinnn... ih!"

"Kenapa sih?"

"Iseng banget lo jadi orang!" respon Sivia dengan mendorong balik tubuh Alvin. "Emangnya lo mau ngapain sih ke sini? Kangen sama gue?" tanyanya kemudian.

ALVIA'S STORIESTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang