Setelah pulang dari rumah Dea kemarin, aku mulai merasakan kelegaan dalam hati. Kenapa? Akhirnya setelah lama gak bersua, aku, Dea sama Reynand bisa ngumpul dan ngobrol asyik lagi kaya kemarin. Aku gak nyangka, ternyata perasaan gak enakku sama mereka berdua ternyata juga perasaan rindu, iya, rindu karena kebanyakan waktuku sekarang lebih untuk Evan.
"Kemarin pulangnya telat kan?" tanya Evan. Info nih yah, aku sekarang lagi di perpus menemani Evan belajar sekaligus mengerjakan tugas. Tau kan yang bentar lagi mau UN.
"Ih, gak telat kok."
"Gak telat, cuma jam 9 malam?"
"Evan, kamu bilang kan boleh pulang kalo Dea udah selesai ngomongnya, yah itu. Dea kemarin selesai ngomong jam 9 malam." jelasku.
"Oh." berhenti sejenak. "Terus, kamu cuma berdua aja di rumahnya Dea?"
O-ow! Aku gak suka pertanyaan dia satu ini. Siap-siap Ervin!
"Eum.. Ber-ti-ga." jawabku gugup. "Sama Reynand juga?" tanyanya dan aku mengangguk kecil.
Evan menghela nafas berat. "Kamu nih, berapa kali sih aku musti ngasih tau, hum?" nadanya mulai naik satu not. Tuh kan, dia marah.
"Kamu kok gak pulang waktu liat ada Reynand di sana?"
"Masa aku pulang sih, Van? Kan gak enak, udah terlanjur ke sana juga. Masa belom apa-apa udah pulang aja sih?"
Mendengar jawabanku, Evan mengacak rambutnya kasar lalu menutup buku yang dibacanya. "Jelasin!" tegasnya dengan tatapan dingin.
"Aku tuh gak ngapa-ngapain Evan, cuma ngobrol doang, beneran." jawabku. Evan tak berhenti menatap mataku, menunggu penjelasan lebih detail dariku.
"Aku kemarin cuma ngobrol, terus main game sama mereka, terus dibuatin cemilan sama mamanya Dea, abis itu kita ngobrol-ngobrol lagi sampe jam 9 malam itu."
Evan menghela nafas kasar sekali lagi. "Itulah kenapa kemarin aku suruh kamu tanya ke Dea, dia mau ngomong apaan? Kalau tau begitu, aku gak bakal kasih izin." jelasnya tegas.
"Pokoknya lain kali, aku gak mau tau. Kasih jelas dulu infonya, baru boleh pergi. No detail, no permission. Okay? " katanya dan aku hanya mengangguk. Dia kembali fokus ke bukunya.
Enak banget kamu, Van. Kamu yang minta ditemenin ke perpus, udah gitu ngomelin aku lagi. Sekarang, aku dicuekin. How great you are! Kamu memang pacar teladan -__-
***
Hari ini, tumben Evan gak ngajak aku pergi lagi (read:ngekorin dia). Padahal biasanya, dia main nyuruh-nyuruh aja ganti baju trus siap-siap. Tapi bagus deh, lumayan bisa istirahat.
Drrt.. Drrt.. Hp-ku berdering, kayanya ada telfon.
"Dea?!" aku pun mengangkat telfon itu. "Halo?"
"Hey, Vin." suaranya terdengar semangat.
"Iya, Dea. Ada apa lo nelfon gue?"
"Temenin gue yah, Viin.. Please..." tiba-tiba suaranya memelas.
"Hah? Kok dadakan gini sih? Emangnya lo mau kemana?"
"Gue musti ke butik mami gue, Vin. Katanya ada keluaran baru, jadi gue harus ke sana untuk pemotretan."
"HEH? PEMOTRETAN? Sejak kapan lo jadi model?"
"Ish! Bentaran aja nanyanya. Sekarang gue ke tempat lo, be ready in 10 minutes, key?"
"WHAT? 10 menit? Bisa lo ke sini dalam waktu segitu?"
"Get ready or we gonna be late. Bye! " dan sambungan pun terputus. Dasar Dea seenaknya aja! Tanpa basa-basi lagi, aku langsung bersiap-siap.
KAMU SEDANG MEMBACA
My 'PSYCHO' Boyfriend
Teen FictionAwalnya begitu manis dan menyenangkan. Hingga akhirnya makin ke sini, pacar gue kok makin aneh, ya? Beneran aneh! Serius! -Ervin Alvira Kamu gak boleh bandel ya, sayang.. -Evan Wijaya Kisah seorang gadis bernama Ervin, yang menjalin hubungan dengan...