2 :: Memories in the forest

191 8 1
                                    


Nao

M I T F •

Aku duduk diatas balkon sekolah ini bersama dia, Reon. Kadang kami tertawa dan bercanda. Dia orangnya lucu, dan aku sangat suka senyum kocaknya. Sosoknya yang hangat entah mengapa melengkapi sikapku yang kadang dingin. Tidak dingin juga, hanya malas bergaul. Karna aku tidak terlalu suka dengan orang baru. Kalian tidak akan pernah mengira seberapa gilanya aku ketika aku bersama sahabat-sahabatku.

"Eh aus kaga? Gue mau beli minum. Lo mau gue beliin kaga?." oke- aku memang salah tadi memujinya. Diantara sikapnya yang menyenangkan, ada 1 sikapnya yang sangat menyebalkan. Dia itu orangnya ga pekaan. Atau ga sweet gitu lah! Liat aja pertanyaan yang tadi. Masa dia mau beliin minum aja nanya dulu? Kalo di telenovela nih, cowok yang ada langsung beliin minum tanpa bertanya. Ah sepertinya semalam aku kebanyakan baca telenovela.

"Hm boleh." kataku mengangguk. Dia pun berbalik. Sebelum pergi aku berteriak, "YANG DINGIN YAA! KALO BISA SAMA BAKWAN 5 BIJI JUGA GAPAPA."

"BAYARNYA SEKALIAN ONGKOS YA MBA." aku tertawa. Dia memang lucu kan?.

Menunggu adalah hal yang paling tidak aku suka. Disini aku menunggu Reon kembali dari kantin SENDIRI. Bisa kalian garis bawahi, SENDIRI. Bagaikan jones dimalam minggu, aku hanya bisa menatap nanar pada parkiran motor yang terlihat jelas dari sini.

Lalu tatapan ku tak sengaja mengarah pada pasangan yang berjalan sambil bergandengan. Ku amati wajah sang cowok yang terlihat dari samping. Sepertinya aku mengenalinya. Dan saat dia berbalik, aku dapat melihat iris hitam pekatnya itu. Iris yang mengisyaratkan ketegasan dan kewibaan yang tinggi.

Dia ketua osis di SMA 1 National School, sekolah ku.

Dan dia, seseorang yang sangat kusukai.

Aku mengenalnya -oh bukan, maksudku aku dikenalkan oleh Razuka dengannya saat persami kelas 10. Saat itu aku sedang mendapatkan tugas mencari kayu bakar di hutan, karena aku takut sendirian maka aku ajak Razuka. Tapi sepertinya Razuka sedang sibuk. Karena ia pun khawatir aku sendirian ke hutan, akhirnya ia mengenalkanku pada Niall, dan menyuruh Niall menemaniku masuk ke rimbunnya hutan di sana.

Pada awalnya aku menolak mentah-mentah ide itu. Percuma saja aku minta ditemaninya toh kalau ujung-ujungnya yang menemaniku adalah seorang cowok. Bagaimana kalau ia macam-macam? Apalagi hutan itu sepi, dan aku tidak yakin apabila aku teriak akan ada yang mendengar suaraku.

Tetapi Razuka tetap menyakinkanku. Ia menatap mataku dan memegang pundakku. Lalu tersenyum dan mengangguk. "Percaya sama Niall, dia di jamin cowok baik-baik!." Namun aku tetap berkelit. Bukan lagi karena hal Niall itu cowok. Oh ayolah, apakan Razuka lupa bahwa aku adalah seorang yang tak pandai bergaul? Aku hanya tak ingin ada nya perasaan canggung disunyinya hutan.

Seperti Niall bisa membaca pikiranku, ia tersenyum. Senyum lembut namun penuh wibawa itu membuat aku tak bisa berkelit. Bisa aku akui, senyum itu menenangkanku. Dan mau tak mau, aku ikuti saja idenya Razuka. Itu lebih baik di banding harus sendirian melewati hutan.

Di perjalanan, pembicaraan lebih didominasi oleh Niall dan aku hanya sebagai pendengar setia yang kadang tertawa kecil, tersenyum, mengangguk ataupun memberi respond ya/tidak hanya untuk sekedar memberi kesan sopan. Setidaknya lebih baik daripada awkward moment yang selalu kurasakan setiap bersama seorang yang baru ku kenali.

Hingga terjadilah insiden berdarah-oke ini berlebihan tapi memang ada yang berdarah. Aku. Iya, aku berdarah. Karena tidak hati-hati dan melamun memikirkan hutang pihutang milik temanku, aku sampai tidak sadar bahwa di depanku ada sebuah ranting melintang dari ujung pohon ke ujung pohon satunya lagi. Alhasil, aku pun terselengkat dan terjatuh. Baretan hampir mengelilingi pergelangan kakiku. Sepertinya ranting tadi ditumbuhi duri, lalu menusuk dan menyobek kulitku. Rasanya sangat perih menjalar ke seluruh bagian kakiku. Aku meringis. Kakiku linu.

Tiba-tiba sebuah tangan menghapus lukaku dan mencuci lukaku dengan air. Aku sempat menjerit kaget karena air yang digunakan sangat amat dingin. Lalu tangan itu yang ku ketahui milik Niall mengoleskan lukaku dengan kapas yang sudah diberi obat antiseptik. Tak lupa sentuhan terakhir ia membalut lukaku.

"Terimakasih Nayel." ucapku lirih sambil menahan ringisan. Niall membantuku berdiri. "Nama saya Niall bukan Nayel." oh, apa tadi aku salah sebut nama?

"Oh maaf. Tapi gue lebih suka memanggil elo dengan sebutan Nayel. Lebih lucu. Gapapakan?." kulihat pipinya memerah. Apa dia blushing?

Dia menatapku lalu tersenyum. Menuntunku agar tidak jatuh sambil membawa kayu bakar. Betapa manisnya dia saat terlihat dari samping.

Oke, back to earth Naooo!!

Kenangan itu melayang-layang membuatku tersenyum. Kenapa bisa-bisanya aku flashback hanya dengan melihat irisnya yang memikat itu?

Tak sengaja mataku bertemu dengan matanya. Dia tersenyum padaku. Lesung pipinya yang sebelah kiri tercetak manis. Aku tersenyum kembali padanya.

Sudah lama aku tak kontak mata seperti tadi. Terakhir kalau tidak salah saat lagi riuhnya berita bahwa ketua osis ku jadian dengan sahabatku, Razuka. Jadi secara tak langsung, aku menghindarinya dan menjauh. Semua itu ku lakukan semata-mata agar, rasa ini hilang. Rasa yang tak pernah ku ketahui kapan datangnya. Rasa yang tak ku inginkan kehadirannya.

Rasa ini membuatku sakit.

Mataku mulai basah, namun aku mengadah pada langit. Mencoba menahan air yang merebak.

Lalu aku merasakan seseorang mendekapku. Menjatuhkan kepalanya di bahuku. Aku menengok padanya.

Reon.

Aku merasa udara sangat sulit dihirup. Sesak. Air yang bergerumul tak dapat ku cegah. Isakkanku mulai terdengar.

"Aku tau apa yang kamu rasakan. Menangis lah sepuasnya." bisiknya. Dan aku benar-benar menangis dengan isakkan yang kencang. Bukan karena Niall, tapi perkataan Reon membuatku merasa bersalah.

Dia, dengan begitu baikknya menopangku saat jatuh, dengan baikknya memperhatikanku, dengan baikknya pengertian padaku. Lalu bagaimana bisa aku memikirkan cowok lain? Oh ayolah! Aku sangat merasa diriku ini tak pantas untukknya.

Aku pun berhenti menangis, menghapus air mataku. Dan menatapanya.

Dia tersenyum kocak melihatku, membuatku menaikkan sebelah alis. "Kalo nangis ternyata kamu jelek banget!." aku menabok punggungnya. Dasar menyebalkan!!!!

"Udah ah mainnya sinetron-sinetronnya. Nih minumnya. Tuh kan udah ga dingin. Aku males ya harus balik lagi buat nuker sama yang dingin. Itu salah kamu loohh. Lagi aku juga gamau harus dikejar-kejar sama Feni lagiii." ucapnya dengan muka memelas di kalimat terakhir. Untuk memberi tau saja, Feni itu sebenarnya nama aslinya Feno, seorang cowok yang ke cewek an yang suka ngejar-ngejar Reon. Tapi herannya si Feno udah punya mantan 10, aku aja kalah sama dia.

Dia melambai-lambaikan tangan di depanku, "Kok bengong sih? Mikirin aku yaaaa?." aku meliriknya sinis. "Pede banget sihhh. Lagi kamu emangnya siapa?."

Reon berkaca-kaca, seperti anak kecil ia berteriak, "Kamu jahat! Kamu ga anggep aku. Aku bilangin mama." aku sontak tertawa, mukanya seperti sedang menahan panggilan alam. Namun aku bersyukur dalam hati telah dipertemukan dengannya. Orang yang selalu membuat aku bahagia, tersenyum dan tertawa dengan tingkahnya.

Aku tau, waktu dapat mengikis perasaanku pada Niall. Dan aku tau, waktu akan mengganti kegusaran hati ini dengan ketenangan yang diberikan Reon.

Aku janji, akan selalu berusaha menjadi yang terbaik untuknya. Walau mungkin aku perlu sedikit berusaha menghilangkan perasaan ini terlebih dahulu.

Tapi aku baru sadar, baru kali ini Reon memakai kata Aku-Kamu selama kita pacaran. Entah mengapa aku merasa gugup.

• M I T F •

A/n

Doain aja biar aku setiap hari ngenext 2 chptr sekaligus kayak gini:) votment ku tungguuu!

R2N [end]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang