CHAPTER FIVE

65 3 3
                                    

(Kouta Fujioka story)

Senin, 26 Agustus 2014. Tiga hari sebelum kematian...
Kouta memandang keluar jendela bus. Membiarkan cahaya mentari yang menyilaukan menghangatkan wajahnya yang pucat.
"Kota kecil yang biasa, pemandangan yang biasa, suasana yang biasa-biasa saja. Namun mendamaikan hati siapapun yang memandangnya.
Terkadang aku bertanya, untuk apa aku hidup? Apa sebenarnya tujuanku?
Aku selalu melakukan segala sesuatu secara setengah-setengah. Tapi itu tidak berarti aku selalu bosan! Hanya saja aku selalu bertanya-tanya, apa sebenarnya tujuan hidupku? Kemana aku akan berlabuh?"
Hal itu selalu saja terngiang di kepalanya seperti sebuah lagu. Dia benci memikirkannya, tapi tak dapat berhenti memikirkannya. Bus itu pun akhirnya turun di perhentiannya. Kemudian, ia menyetop taksi untuk menuju ke rumahnya.
~~~
Ia pun sampai di tujuannya. Tempat yang amat dirindukannya. Dia lalu membayar taksi dan bergegas turun. Menghirup napas panjang dan menghembuskannya perlahan.
"Aku pulang..." Ucapnya lirih. Terdengar suara gonggongan anjing yang dikenalnya. Bon.
Ia menghampiri anjing yang sedang berlompatan kegirangan itu dan mengusapnya. Ia lalu memasuki rumahnya. Seperti biasa, ia melihat ibunya sedang mempersiapkan makanan untuk makan siang. Ia tersenyum memandangi wanita itu.
"Aku pulang!" Ucapnya lembut.
"Selamat datang!" Ucap ibunya lembut lalu menoleh ke belakang dan terlihat terkejut dengan sosok yang dijumpainya.
"Aku pulang!" Sahut seorang pria dan wanita bersamaan. Kouta menoleh ke belakang. Ayah dan kakaknya. Sama dengan ibunya, mereka memandanginya dengan keterkejutan.
"Kouta?" Tanya kakaknya. Kouta tersenyum.
"Kau sedang libur kerja ya?" Ucapnya.
~~~
Kouta dan keluarganya pun akhirnya duduk mengelilingi meja makan. Saling diam dan menatap.
"Aku...menghentikan perawatanku di rumah sakit." Ucap Kouta untuk membelah keheningan. Terdengar suara helaan napas berat ayahnya.
"Mengapa kau tidak mendiskusikannya terlebih dahulu berasama kami?" Tanya ayahnya.
"Benar! Kau tahu? Kau seharusnya tidak memikirkan hal ini secara sepihak saja! Kau punya kami, keluargamu, kan." Sambung ibunya dengan nada kecewa.
"Aku...tidak ingin menyusahkan kalian lebih banyak lagi." Jawab Kouta. Seluruh anggota keluarganya melebarkan matanya. Terkejut.
"Menyusahkan bagaimana? Kami sedikitpun tak pernah merasa susah! Apa yang sebenarnya ada di pikiranmu?" Ucap kakaknya.
"Ini tubuhku! Aku yang paling mengerti tentang tubuhku!" Jawab Kouta.
"Apa yang sedang kau bicarakan ini?" Tanya ibunya.
"Kalian tahu?" Tukasnya cepat. "Semakin hari tubuhku ini semakin lemah, aku...bahkan tak lama lagi hanya akan bisa berbaring di tempat tidur dan membutuhkan bantuan orang lain untuk hidup. Aku...tidak bisa terus menerus begini! Aku...hanya ingin menghabiskan hari-hari terakhirku bersama kalian. Aku...hanya ingin membuat hari-hariku terasa berguna." Jelas Kouta.
"Jangan bicara yang tidak-tidak! Kami bahkan bisa mengunjungimu! Itu bukan alasan kan untuk menghentikan perawatanmu..." Ujar kakaknya.
"Kak..." potong Kouta. "Kau tahu? Selama aku hidup di keluarga ini...aku merasa sebagai orang paling beruntung di dunia! Aku punya ayah yang hebat, yang selalu memberikan motivasi padaku untuk selalu berjuang. Aku punya ibu yang selalu memasakkan hidangan enak untuk keluarga, menjadi teman berkeluh kesahku, dan selalu memberikan senyuman terbaiknya saat aku merasa sedih. Aku juga senang punya kakak jahil yang menjadi teman beradu mulut setiap hari, meskipun dia menyebalkan...tapi dia kakak terbaik yang pernah kumiliki!" Ujar Kouta. Ia lalu kemudian menghela napas panjang.
"Tapi kalian tahu?" Ucapnya dengan suara bergetar. "Aku bahkan...belum pernah menjadi seseorang yang berguna untuk kalian." Ucapnya. Tak terasa matanya mulai basah.
"Jangan bicara seperti itu!" Ucap ibunya dengan suara bergetar. Kouta menggigit bibir bawahnya. Mencoba menstabilkan suaranya.
"Aku bahkan...tidak bisa menjaga keluarga ini. Kalian lihat aku sekarang! Bahkan aku hanya menyusahkan kalian selama ini! Aku..." ucapnya dengan suara bergetar. Air matanya tumpah, begitu pula ibu dan kakaknya. Mata ayahnya pun terlihat berkaca-kaca.
"Aku bahkan bukan putra yang baik." Sambungnya.
"Kouta..." tukas ayahnya. "Hanya dengan terlahir di keluarga ini saja kau sudah menjadi putra yang baik! Kau..." ucap ayahnya.
"Hanya terlahir saja bahkan tidak cukup!" Potongnya. "Aku...bahkan sama sekali tidak memberikan apapun untuk keluarga ini..." lanjutnya dengan air mata yang bertunpahan deras. Kakaknya mengusap punggungnya dengan lembut. Kouta pun mengusap air matanya dan melanjutkan.
"Kalau saja aku tidak sakit, aku mungkin bisa saja melakukan sesuatu yang berguna untuk keluarga ini. Tapi kalian tahu? Aku bahkan akan mati mendahului ayah dan ibu. Aku minta maaf...aku tidak bisa menjaga ayah dan ibu." Isaknya. Ibunya terisak sembari menatap langit-langit.
"Kouta." Panggil ayahnya. Kouta menoleh.
"Percayalah. Kau tak akan pernah mati! Kau bahkan sudah cukup berguna untuk keluarga ini. Percayalah, nak!" Ucap ayahnya dengan nada tegas yang biasanya, meskipun dengan mata yang berkaca-kaca. Ibunya mengangguk.
"Kau bahkan tak perlu meminta maaf. Bagaimanapun juga kau adalah anak kami. Anggota keluarga ini. Bagaimanapun dirimu kami pasti menerimanya." Ucap ibunya lembut. Kouta semakin deras menitikkan air matanya. Ia lalu memandangi kakaknya. Kakaknya pun mengangguk mantap seakan memberikan penghiburan padanya. Ia kemudian memandangi ayah dan ibunya lagi.
"Kouta, percayalah. Semuanya baik-baik saja!" Ucap ayahnya. Ibi dan kakaknya mengangguk pasti. Kouta memandangi semua anggota keluarganya.
"Aku...minta maaf..." isak Kouta. Kakaknya kemudian menariknya ke pelukannya. Disusul oleh ayah dan ibunya. Menangis bersama mereka.

DOPPLEGANGERTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang