Part 5

31 3 0
                                    

Bagaikan setitik cahaya dalam kegelapan pekat
Ialah harapan, yang akan membimbing raga-raga penuh keputusasaan
Tuk mencari impian
Untuk menghilang dari dunia hitam
Dan aku
Adalah salah satunya...


Keesokan paginya, Risma menjadi semakin tegang. Ide untuk membolos telah muncul dikepalanya berulang kali. Jika ia membolos hari ini, Risma memiliki waktu 1 minggu untuk menjawab sisa soal itu.

Namun Adis menentang keras-keras ide Risma itu. Begitu pula dengan Sania dan Ayu. Ketiga temannya langsung menentang begitu Risma mengutarakan idenya kemarin malam.

"Pak Anwar pasti lebih marah kalau kamu nggak masuk daripada kamu jawab 7 soal. Aku yakin dia menghargai usahamu yang sudah mencoba dengan susah payah untuk jawab soal-soal itu." Begitulah kata Adis.

Akhirnya Risma menyerah dan berangkat kesekolah juga. Sekarang, disinilah dia. Dengan takut-takut untuk masuk ke gerbang sekolah. Risma masih bingung untuk kabur saja atau datang ke sekolah. Kalau Risma menelpon Adis sekarang dan mengatakan dirinya demam, apakah Adis akan percaya?

"Woi!!" Risma tersentak melihat Ayu telah berdiri dibelakangnya, tampak baru datang juga.

"A-Ayu.." Ujar Risma terbata. Kalau dipergoki Ayu, bagaimana caranya Risma berbohong!

"Kenapa nggak masuk? Mau bolos ya?" Tanya Ayu dengan tepat sasaran.

"H-Ha? N-Nggak lah. Ini baru mau masuk." Risma langsung melesat masuk kedalam sekolah. Sialan, makinya dalam hati. Sekarang Risma harus menyiapkan diri untuk berhadapan dengan Pak Anwar.

Belum sampai 5 langkah masuk kedalam kelas, ketua kelas Risma, Govin, masuk sambil berlari-lari. Ia berteriak dengan keras didepan kelas.

"Woy temen-temen!!" Serunya lantang. "Hari ini Pak Anwar nggak masuk!!"

Seluruh kelas sontak bergembira. Merayakan hari yang jarang terjadi ini. Hati Risma langsung lega seketika, mendengar kabar tersebut. Risma bersyukur ia tak jadi membolos. Sekarang Risma benar-benar punya waktu untuk menjawab 10 soal menyiksa tersebut.

"Syukur kan kamu nggak bolos!" Adis menepuk punggungnya pelan. Risma mengangguk disertai dengan cengiran lebar.

Sekarang Risma memiliki waktu 7 hari terhitung dari hari ini untuk mengerjakan 10 soal super dari Pak Anwar tersebut. Kalau untuk Adis maupun Sania, waktu 7 hari pasti lebih dari cukup. Tapi tentu saja, tidak untuk Risma. Berapa lama pun waktu yang diberikan, tidak akan pernah ada waktu yang cukup bagi Risma untuk mengerjakan 10 soal matematika itu seorang diri. Andaikan saja Risma memiliki kebiasaan rajin seperti Sania, pasti Risma tak akan pernah merasa susah seperti ini.

"Mumpung jam kosong, kita ke kantin yuk. Belum sarapan nih." Ajak Adis.

Risma langsung mengangguk dengan cepat. Sambil menyeret Sania dari tumpukan bukunya, keempat serangkai itu pergi ke kantin yang masih dalam keadaan sepi, jelas saja karena saat itu masih pagi. Mereka berempat langsung mengambil tempat paling strategis untuk menjamah seluruh makanan yang tersedia di kantin.

Ketiga sahabatnya langsung berlarian untuk memesan makanan, mau tak mau Risma bertugas menjaga tempat duduk beserta barang-barang ketiga sahabatnya.

Pikiran Risma kembali melayang-layang, andaikan Weka bersekolah SMU saat ini, wataknya pasti takkan beda jauh dengan si rajin Sania. Mereka berdua memang tipe siswa teladan kesayangan guru. Hanya saja Weka lebih pendiam dan Sania jauh lebih gila.

Dan lagi, Weka pasti tidak akan kesulitan untuk menjawab 10 soal super pemberian Pak Anwar. Walaupun Adislah yang paling menyukai matematika diantara mereka semua, namun kepandaian Weka tak pernah bisa ditandinginya. Ketika SMP, Adis seringkali frustasi karena Weka berhasil menjawab soal-soal olimpiade miliknya dengan mudahnya. Risma tertawa kecil mengingat kejadian-kejadian itu.

The Forgotten MemoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang