Part 6

19 3 0
                                    

Masa lalu itu mengerikan

karena sekali kau perbuat, takkan pernah bisa kembali

ia bagaikan bayang-bayang

bagaikan pondasi masa depan

yang bisa menuntun, ataupun menghancurkan...


"Maaf Mbak, 5 menit lagi perpustakaan ini akan ditutup."

Risma tersenyum meminta maaf kepada penjaga perpustakaan. Buru-buru ia mengemaskan barang-barangnya dan mengembalikan buku yang dibacanya kembali ke raknya. Lagi-lagi Risma menjadi pengunjung terakhir diperpustakaan ini.

Semenjak insiden melihat Weka di perpustakaan. Risma selalu datang ke perpustakaan ini setiap hari setiap ia pulang sekolah. Memastikan sendiri apakah orang yang dilihatnya itu betul-betul Weka atau tidak. Ini sudah hari ketujuh Risma berada di perpustakaan ini sampai tutup, namun tanda-tanda keberadaan Weka tak kunjung muncul.

Beribu pertanyaan melintas dibenak Risma, jika benar orang yang dilihatnya adalah Weka, mengapa selama ini ia tidak pernah menemui Risma? Apakah Weka membenci Risma karena kecelakaan itu? Apakah sekarang Risma taka da artinya lagi bagi Weka? Walaupun hanya teman sejak kecil?

Risma menghela napas panjang. Apa yang terjadi dengan Weka semenjak kecelakaan itu? Bagaimana kabarnya? Apakah ia sehat sekarang? Pertanyaan itu selalu muncul dibenaknya. Teramat sering hingga sakit rasanya.

Kecelakaan itu, ketika Risma mendekap Weka dalam pelukannya.

Air mata tak henti-hentinya keluar dari pelupuk mata Risma. Tubuh Weka yang terbaring tak berdaya berada di pelukan Risma, berulangkali Risma mencoba memanggil-manggil nama Weka. Namun tak sekalipun ada jawaban dari yang empunya nama.

"Weka..."Risma memanggil dengan lembut. Tak ada tenaga lagi bagi Risma untuk bertahan. Untuk berteriak. Otot-ototnya terasa lemas tak berdaya mengharapkan keselamatan sesosok tubuh didepannya.

Risma harus mencari bantuan, agar Weka dapat dibawa kerumah sakit. Namun Risma tak ingin meninggalkan Weka sendirian, terbaring kedinginan.

Jadi, Risma masih disana, menunggu seseorang datang agar memanggil bantuan. Membiarkan tubuh lemas cowok itu tetap berada dipelukannya, menyentuh kulit tubuhnya yang terbuka.

Dengan seluruh kekuatan yang tersisa, Risma berteriak meminta tolong. Memanggil siapapun yang bisa datang membantunya.

Entah bagaimana, Risma tak pernah ingat setiap detail kejadiannya. Tubuh Weka telah diangkut oleh mobil ambulance. Bersama dengan Putri, orang tua Weka, serta beberapa teman yang lain menunggu di rumah sakit menunggu kepastian keselamatn Weka.

"Ini semua gara-gara kamu. Andaikan kamu tidak bertindak bodoh Weka tak akan pernah mengalami kecelakaan ini.." Desis Putri. Risma sama sekali tak membantahnya, karena didasar hatinya yang terdalam Risma setuju dengan pernyataan Putri. Rismalah penyebab Weka mengalami kecelakaan.

Andaikan saja saat itu Risma tidak merajuk seperti anak kecil, andaikan saja Risma lebih berhati-hati saat berjalan di jalan raya... Weka takkan mendapatkan kejadian mengerikan ini.

Setelah beberapa hari, Weka tak kunjung sadar juga. Hanya keluarganya yang diperbolehkan untuk masuk ke ruang ICU. Risma selalu datang setiap hari, begitu pula dengan Putri. Kedua orangtua Weka telah mendengar detail kejadiannya dari Putri. Tanpa ditutup-tutupi, mereka menghindari Risma.

Di Hari ketiga Weka seharusnya Weka dirawat dirumah sakit itu, Weka menghilang. Risma menanyakan kepada pihak rumah sakit namun dirinya tak kunjung diberikan jawaban. Ketika melihat keadaan Rumahnya, siapun dapat mengambil kesimpulan bahwa orang-orang yang tinggal disana telah pindah.

Mungkin bagi setiap orang yang melihat Risma, mereka pasti menyarankan Risma untuk berhenti. Berhenti untuk menyalahkan dirinya sendiri. Berhenti untuk menunggu kabar dari Weka. Dan berhenti untuk melihat masa lalunya terus-menerus.

Kadangkala, rasa letih itu memang muncul. Membuat Risma seringkali mengutuk dirinya sendiri yang tak pernah bisa melupakan peristiwa itu. Tapi apapun usaha yang sudah Risma buat, tak ada yang mampu menghapuskan bayang-bayang masa lalu itu dari benaknya.

Artinya, sudah 7 kali Risma pulang bersamaan dengan Ibu penjaga perpustakaan. Sampai satpam pun ingat dengan wajah Risma.

"Nunggu Weka lagi ya?" Risma terkejut melihat Adis telah bersandar di pagar menunggunya.

Selama 7 hari ini Risma memang tak pernah memberitau ketiga sahabatnya itu bahwa dirinya mencari Weka dan menunggunya disini terus menerus. Mereka pasti menganggap Risma bodoh dan sangat menyedihkan. Tapi tak mengapa, toh dia sendiri juga merasa demikian.

Kepergok oleh Adis, Risma hanya tersenyum kepadanya.

"Kutebak. Dia nggak ada lagi." Kata Adis tepat. Entah apa yang bisa membuat gadis itu mudah sekali menebak apa yang Risma lakukan. Padahal selama ini Risma tak mengatakan apapun padanya.

"Dari kapan kamu tau?" Tanya Risma.

"Tau apa? Kalau kamu setiap hari datang kesini buat nunggu Weka setelah kamu yakin lihat dia waktu itu?"

Risma mendesah. Lelah.

"Jangan bilang apa-apa lagi. Mulai besok aku nggak akan kesini lagi kok." Memang itu yang akan Risma lakukan. Ralat. Usahakan untuk dilakukan.

"Aku nggak akan kasih nasehat apapun. Soalnya kamu pasti tau apa yang terbaik untukmu."

Risma tersenyum simpul. Mulai memakai jaketnya bersiap untuk pulang. "Apa Ayu sama Sania juga tau?"

Adis mengangkat bahu. "Entah, aku nggak bilang siapapun. Tapi mereka kan tau segalanya."

Mau tak mau Risma tertawa. Dirinya memang menyedihkan, tapi ia punya teman-teman yang mengerti dirinya. "Kamu nggak pulang?"

"Sekarang." Kata Adis sambil naik di boncengan sepeda motor Risma.



The Forgotten MemoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang