To Be Continued

550 120 31
                                    

Aku telah bersiap dengan seragam dan tas ranselku di bahu. Aku bercermin dengan senyum pagi yang merekah, tentu karena semakin hari aku semakin bersemangat untuk bangun pagi dan segera berangkat ke sekolah.

Jangan tanyakan kenapa, karena tentu saja aku sudah tidak sabar untuk bertemu dengan sang pujaan, Devian.

Setelah turun ke lantai bawah dan mendarat di ruang makan, aku menyapa semua keluargaku dengan ceria yang saat itu masing-masing mereka baru hendak duduk di kursi. Lalu aku segera mencomot selembar roti yang sudah dioleskan selai Bluberri oleh mama.

"Pagi Clara sayang."

"Pagi anaknya papa."

"Hoaam," oke yang satu ini adalah kakakku, si Farel. Dan lihatlah, bahkan ia belum membersihkan diri dan segera memakai seragam sekolahnya. Mau jadi apa dia, bahkan sebagai kakak saja tidak bisa dicontoh, dasar.

"Farel, kok lo belom mandiiiii."

Setelah sedikit berteriak, kurasakan ia yang menjitak kepalaku, dan tentu aku sedikit meringis. Refleks.

"Gila lo, semangat amat ini masih gelap woy!" bantahnya sambil tetap melahap sarapannya. Oke memang aku akui, kalau ternyata akulah yang bangun dan bersiap kepagian.

"Cepetan pokonya gue gak mau telat!" Hanya ancaman, walaupun aku tau kalau tentu tidak bakal telat. Karena sudah pasti mama bakal menarik kunci mobilnya jika ia sekali saja membawa aku ke sekolahku dengan terlambat.

Ralat, sekolah kita.

Ya, karena aku dan kakakku bersekolah di sekolah yang sama. Lagian jarak sekolah dengan rumahku tidak begitu jauh, apalagi jika dengan mengendarai kendaraan.

***

Dan seperti yang diperkirakan, kalau kami memang tidak bakal telat.

Udara pagi hari disini masih terasa sangatlah dingin, kulihat halaman seputaran sekolah yang masih sangat sepi. Hanya ada beberapa orang yang sudah datang terlihat berjalan gontai. Berbeda sekali denganku, tepatnya setelah Farel memarkirkan mobilnya tadi di parkiran sekolah, aku yang tanpa basa-basi dengannya lagi langsung saja turun dari mobil dan setengah berlarian dengan setengah berloncatan ke arah salah satu gedung yang ditempati para murid kelas sebelas. Termasuk kelasku.

Dari kejauhan sini aku dapat melihat pintu dan papan nama kelasku. Aku pun terus berjalan dengan sesekali bersiul, senyum merekah dari bibirku pun tak kunjung meluntur, melihat kelasku yang sudah semakin dekat. Tapi sebelum itu, hal yang pertama kali menjadi tujuanku saat pagi hari seperti ini masih tetap sama seperti biasa, yaitu menuju kelas Devian. Yang kelasnya tepat di sebelah kelasku.

Aku mendaratkan langkah berlari kecilku tepat di depan pintu salah satu kelas, yang sudah pasti kelas Dev. Aku pun melongokkan kepalaku ke dalam kelasnya, melirik ke sekitaran dan mendapati kelas yang masih kosong.

Aku beranjak mendekati salah satu meja di barisan tengah yang ada dipaling belakang, lalu menduduki salah satu kursi yang merupakan tempat duduk biasa Devian tersebut.

Sejenak aku tersenyum sambil menatap ke arah meja yang hanya kosong tanpa benda apapun di atasnya. Lalu aku mulai membuka ranselku, bersiap mengeluarkan kotak bekalku dan akan meletakkannya di dalam laci milik Dev. Sekotak bekal yang tadi pagi sudah aku isi dengan roti berselai coklat sebelumnya.

Karena Devian suka Chocolate.

Beberapa menit pagi ini hanya aku habiskan dengan duduk berdiam di sini, yang namun otakku tentu saja tidak ikut berdiam. Ia yang dengan seenaknya malah memutarkan kembali memori disaat aku dan Devian sedang tertawa bersama di kelasnya, dan juga momen disaat Dev tengah mencoba membujukku dengan beberapa jebakan yang ia buat agar aku dapat kembali tersenyum dan tertawa. Di kelas ini.

To Be ContinuedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang