To Be Continued

296 80 18
                                    

Kenangan itu, masih saja terus kembali terngiang-ngiang dibenakku.

Tak henti-hentinya memamerkan setiap adegan-adegan manis seperti dimana saat aku tengah duduk bersamanya di taman kota dengan satu cup es krim yang mulai mencair ditangan kami masing-masing.

Kembali ia memamerkan adegan reka ulang dimana saat itu aku tengah tidak berhubungan dengan baik dengannya. Dia menjadi semakin cuek denganku, jarang membalas pesanku, dan bahkan ia dengan teganya mengabaikan semua telfon dariku berulang kali. Padahal, ia paling tidak suka dengan hubungan yang seperti itu.

Memaksakan hati untuk mengabaikan yang pada nyatanya hanya membuat diri sendiri semakin teriris.

Namun, ternyata ada sesuatu yang besar di balik semua itu. Di balik semua sifat dan ucapan aneh yang ia tunjukkan padaku, ada sesuatu yang manis tengah menungguku disana.

Tepat dimana hari ulang tahunku, Dev telah mempersiapkan semuanya dengan sangat-sangat sempurna, dan tentu mendapat nilai plus di balik bakat terpendam aktingnya itu.

Aku tak habis-habisnya terpukau oleh semua rancangan yang telah ia lakukan di taman kota waktu itu, sangat indah. Salah satu hari yang paling terindah yang pernah kuingat.

Terima kasih, Dev. Walaupun sampai saat ini aku masih tidak mengetahui alasan mengapa dia bertingkah seperti itu padaku. Dan yang kupikirkan hanyalah, jika ini tidak segera terselesaikan, kuharapkan ada lagi sesuatu yang indah menungguku dibalik ini semua.

Entah itu berujung dengan hubunganku yang kembali baik-baik padanya, entah juga kejutan apa lagi yang telah dirancangnya dengan baik.

Kuharap, yang pasti itu tidak akan mengecewakanku nantinya.

***

Kembali ke kebiasaanku, dimana saat-saat aku belum bertemu dengannya. Di saat aku masih belum mau untuk menjalankan suatu hubungan ataupun merasakan cinta untuk saat itu.

Berjalan masuk dari parkiran menuju koridor sekolah dengan kepala yang menunduk. Hanya sibuk menatapi pola berbentuk kotak-kotak yang terdapat di lantai keramik koridor.

Sesekali aku sedikit melompat dengan melebarkan langkah kakiku, hanya berusaha untuk melewati sekotak keramik yang berada di bawahku.

"Aw!" Pekikku setelah sadar sepertinya aku sudah terlalu berlebihan fokus pada lantai keramik.

"Jalan emang make kaki, tapi matanya tetep digunain dong. Itu gunanya kita diberi mata." Seseorang menyentil jidatku.

Aku kembali meringis sembari mengelus di mana tempat seseorang menyentil dahiku barusan. "Oke oke, sorry."

"Eh lo sakit?" aku mengadahkan kepalaku sedikit ke atas, "lo lagi." Gumamku.

Sebuah telapak tangan yang sedikit besar dengan suhu yang hangat kini mendarat di jidatku. "Lumayan panas, tinggal nunggu demamnya dateng."

"Setan, doain gue sakit?" aku melotot menatapnya, seenaknya saja kalau berbicara. "Lah emang udah agak panas, gue cuma bilang doang karna itu udah nimbul gejala." Katanya yang setelah itu berlalu pergi melewatiku.

Tunggu, bukannya kelas dia berada di sebelah kelasku? kenapa dia balik? apa mungkin dia mau bolos??? "Anjir!"

"Serius amat sih kelilingin semua koridor sekolah, sampe kelas dimana aja lupa." Aku berbalik ke belakang, kudengar ia yang masih berjalan dengan tertawa sejenak.

Ternyata tanpa sadar dari tadi aku sudah melewati kelasku sendiri.

"Daniel, tunggu!"

***

To Be ContinuedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang