To Be Continued

388 111 31
                                    


Saat ini aku masih mencari sesuatu. Buku, buku milikku.

Ya, buku favorit milikku yang sebelumnya lupa kuletakkan dimana.

Aku dengar-dengar sesosok ibu adalah pahlawan yang paling tepat, dalam mencari suatu barang yang tidak dapat kita temukan.

Jadi, apa aku harus menanyakan mama juga soal ini?


***

Ini sudah memasuki hari ke-17. Namun, bahkan masih belum ada tanda-tanda bahwa Dev akan menerimaku kembali ke dekapannya.

Oh ayolah Dev, apa lagi yang harus kulakukan demi meyakinkanmu untuk memberi kesempatan lagi padaku?

Apa aku harus menyerah saja?

Tidak, ya aku tidak boleh menyerah begitu saja. Ini belum apa-apa.

Ayo Belle, semangat!

Kulihat Ica dan Arin yang berada di ambang pintu kelas sedang berjalan menghampiriku, "Belle, kantin yuk!" Ah mereka memang paling tidak bisa untuk soal menggodaku, apalagi saat aku tengah hanya berdiam di kelas seperti ini. Tapi maaf saja, jangan pernah ada yang berani memanggilku dengan sebutan itu lagi!

Selain Dev, tentunya.

"Ngambek deh, yaudah kita aja yuk beli bubble nya Mang Uda." Baiklah untuk kali ini, hanya untuk kali ini aku telah menyatakannya dengan sendiri bahwa aku sudah berhasil digoda oleh si dua kunyuk itu. Langsung saja aku berlari keluar kelas menyusul mereka.

Dan soal Dev? hm, entahlah. Dev tidak masuk sekolah hari ini. Ngeselin memang. Kira-kira dia kemana ya?

***

Aku memesan Chocolate Bubble, walaupun padahal aku tidak begitu suka pada coklat. Tapi ini hanya mengingatkanku pada Dev.

Omong-omong soal Dev, apa dia hari ini terlambat bangun? Padahal aku sudah berusaha mengirim pesan dan menelfonnya berulang kali saat tadi pagi, walaupun masih tidak ada juga balasan darinya. Lalu apa mungkin dia membuat tanda diam di hpnya? Bisa jadi.

Oh atau Dev memang berniat untuk memboloskan diri hari ini? Tapi, kukira itu bukan tipikal seorang Devian. "Akhh..." Dengan tetap meringis aku meremas perutku sendiri dengan sekuat tenaga.

"Clarr, Clarrisa! eh kenapa lo???" kulihat Ica dan Arin kini mulai mengkhawatirkanku, oh mereka memang sungguh teman yang baik. Tapi itu masih belum sepenuhnya.

"Anjir, lo mesen rasa coklat?! kebiasaan lo emang!" Oke, yang ini baru sepenuhnya temanku.

Ya, karena aku alergi dengan coklat.

Mungkin, aku sedikit berbeda dengan orang-orang yang ada di luar sana. Coklat. Salah satu rasa yang mampu membuat perutku terasa sakit setelah menikmatinya, aneh. Padahal, coklat itu terasa manis dan sangat nikmat saat aku memakannya.

"Gimana nih? apa gue panggil Kak Farel aja?" ide Arin boleh juga, tapi sayang sepertinya yang aku butuhkan saat ini bukanlah Farel.

"Gak usah Rin. Telfonin emak gue aja, Ca!" Sesekali meringis, aku melihat ke sekitaran kantin. Sebagian orang pada tengah melihatku aneh, dan ada juga yang sebagian melihatku seperti khawatir. "Tante, tan-" Melihat Ica yang sudah mendaratkan telfonnya di telinganya, aku langsung bergerak merebutnya.

To Be ContinuedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang