Dia bukan siapa-siapa
Ya, memang bukan.
Hanya seorang Ivan.
Cowok polos dan baik hati.
Lumayan sebenarnya, tapi....
&&&
Deva melangkahkan kakinya menaiki tangga darurat. Tujuannya sudah pasti ke atap. Tempat dimana Deva biasa menghilangkan kejenuhan sebelum kembali bergulat dengan pekerjaan selepas jam makan siang. Di atap itu sepi. Deva bisa puas melamun sambil merokok tanpa dikomen tanpa harus mendengarkan cibiran dari orang lain.
Ya, hanya Ivan yang paling suka mengomeli Deva tentang kebiasaan merokoknya.
"Ivan..."
Asap putih mengepul keluar dari mulut Deva. Membaur bersama hembusan angin. Deva menengadahkan kepala. Awan di atas sana menggumpal dengan bentuk tak beraturan. Mencegah terik sang surya jatuh ke bumi.
"Angin itu bebas kemana aja ya, nggak perlu pakai duit buat sampai London."
"Kamu pengen ke sana?"
"Ke Bandung yang dekat aja nggak pernah, mana mungkin aku ngimpi ke London?" Wajah Ivan cemberut lalu berubah murung.
"Beasiswa kan banyak, Van," balas Deva. Entah kenapa melihat Ivan murung mengganggu pikirannya.
"Kalau ikut beasiswa aku nggak bisa bantu bapak, Mbak."
Keterbatasan ekonomi terkadang mengganggu seseorang untuk maju. Deva tahu pasti apa yang Ivan rasakan karena dia pun pernah mengalaminya.
"Nanti kalau udah lulus, aku pasti melamar kerja di sini. Jadi staf desain kayak Mbak Deva."
Deva menoleh memandang Ivan yang duduk di sampingnya. Pria itu tersenyum dengan sorot mata penuh akan kesungguhan. Kata-kata barusan bukan ucapan biasa. Itu janji Ivan.
"Kenapa kamu memilih kerja?"
"Bapak udah tua, Mbak. Aku masih punya adik yang sekolah."
Deva mengangguk mengerti. Memang seperti itulah Ivan. Tak pernah mau melihat orang yang disayanginya kesusahan.
Deva membuang batang rokok yang dihisapnya. Tak peduli jika baru setengah terbakar. Menginjak batang rokok itu sampai asapnya menghilang. Helaan napas panjang keluar begitu saja.
"Kamu memang seperti itu kan, Van?"
Seberapa keras hidup yang dijalaninya, Ivan pun tak pernah mengeluh. Bahkan dia rela membuang masa bermain dan berkumpul dengan teman kuliahnya demi bekerja untuk meringankan beban orang tuanya. Deva salut dengan Ivan. Jarang-jarang anak jaman sekarang yang mau menolong orang tuanya dan bersusah payah. Mayoritas mereka kuliah dengan biaya orang tua dan masih meminta uang jajan.
*#*
"Ivan sudah sadar!"
Deva hampir tidak percaya dengan apa yang didengarnya. Suara Rifkan langsung menarik perhatiannya. Deva menghampiri rekan satu ruangannya itu.
"Apa lo bilang?"
"Ivan sudah sadar, Va. Pak Maman yang bilang," jelas Rifkan.
Deva tak tahu harus berkata apa. "Terima kasih, Tuhan." Hanya ucapan syukur yang lolos dari bibirnya.
"Anak-anak mau njenguk nanti. Elo mau ikut?" ajak Rifkan.
Deva mengangguk seketika. Ia ingin melihat Ivan. Deva merindukannya.
Bangsal kelas ekonomi itu sesak manusia. Bukan karena dipenuhi oleh pasien yang membludak. Itu terjadi karena orang-orang dari TnR yang menjenguk salah satu rekan mereka yang baru memperoleh kesadarannya.
Ya, karena Ivan telah bangun dari koma. Beberapa karyawan TnR yang mengenalnya berbondong-bondong datang. Dokter sebenarnya sudah membatasi jumlah penjenguk. Tapi tetap saja bangsal tempat Ivan dirawat sesak.
"Gue senang dengar lo bangun, Van!" Rifkan memulai suara.
Ivan tersenyum kecil. Meski telah dipindahkan ke ruang rawat biasa, Ivan masih belum dapat berbicara banyak. Ia juga masih memakai alat bantu pernapasan.
Deva menatap iba sosok Ivan yang terbaring. Tiga orang rekan Deva tengah berceloteh kepada Ivan. Menceritakan segala kejadian ketika Ivan tidak ada. Ivan hanya mampu menanggapi dengan tersenyum. Senyuman yang tak pernah pudar. Itulah Ivan.
"Dev, kita pamit keluar dulu. Elo mau ngobrol sama Ivan kan?" Ucapan Riandra menyadarkan Deva dari lamunan. Riandra, Rifkan dan Carlo melangkah keluar tanpa menunggu jawaban dari Deva.
Ah, kenapa mereka seolah menganggap Deva itu butuh kesempatan khusus bersama Ivan?
Kini tinggal Deva di sana. Ia kikuk tak harus berbuat apa.
"Kenapa ber... diri di situ?" Suara terbata Ivan memecah keheningan.
Mau tak mau Deva mendekat. Berdiri di samping ranjang Ivan. "Eng.. Van, maafkan aku." Rasa bersalah yang dipendam Deva meluap.
"Kenapa min...ta ma...af? tanya Ivan.
"Aku sudah buat kamu jadi seperti ini." Karena aku yang nabrak kamu, tambah Deva dalam hati.
"Mbak Deva nggak salah." Ivan menyentuh sebelah tangan Deva yang bisa diraihnya. Menggenggam tangan itu.
"Tapi..."
"Mbak bisa buka lokerku di kantor," potong Ivan.
Deva memandang Ivan tak mengerti. Ivan mengalihkan pembicaraan.
"Buka saja!" Ivan tersenyum setelahnya. Tak aja penjelasan lebih lanjut. Membuat Deva bertanya-tanya.
*#*
"Pacar brondong lo udah sadar kayaknya."
Sebuah suara muncul ketika Deva hendak membuka pintu rumahnya. Deva membalikkan tubuh dan mendapati sosok Pratama tengah menyeringai.
"Mau apa lo?" tanya Deva dengan nada ketus.
"Soal sedan itu... gue akan tutup mulut," ujar Pratama.
"Gue nggak peduli!" Deva muak untuk bersikap baik terhadap Pratama.
"Gue ke sini mau...."
"Pergi!" bentak Deva. "Jangan ganggu gue lagi!"
"Dev, gue...."
"Belum puas lo ngehancurin hidup gue?" Mata Deva berkaca-kaca. Amarah yang terlalu besar tak mampu ditampungnya lagi.
"Pergi!" Deva sudah muak dengan Pratama. Muak dengan pria itu dalam hidupnya.
Pratama menghela napas panjang. Tanpa sepatah kata ia membalikkan badan dan angkat kaki dari hadapan Deva.
#*#*#

KAMU SEDANG MEMBACA
BUKU YANG TERBUKA
RandomIni tentang dirimu, tentang kebencianmu, dan tentang kita. Tertuang dalam buku itu. Mengungkap segalanya.