Buku 4

156 11 0
                                    

Single?

Yes, I am. Nggak aka nada yang berani mendekat.

Kalau pun ada, pasti tak bertahan lama.

Pratama penyebabnya.

Dia selalu berulah.

Selama ada Pratama, aku bakal tetep single.

&&&

Pukul tujuh malam. Lorong kosong dan kubikel tak berpenghuni. TnR nyaris sunyi tanpa pekerjanya. Hanya terdengar suara lalu lalang kendaraan di luar gedung sana. Ah, dan suara binatang malam tentunya.

Meski semua penghuninya telah angkat kaki, Deva masih terduduk di kursi kerjanya. Hanya dia di sana. Termenung sembari menatap kosong kunci mungil dalam genggaman tangannya. Kunci loker Ivan yang ia minta dari Pak Maman siang tadi.

Deva belum membukanya. Bukan karena kesibukan yang mendera hari ini. Deva nyaris menganggur sepanjang hari. Hanya rapat rutin bulanan yang menyita waktunya. Itu pun berlangsung dua jam saja.

Deva enggan membuka loker itu. Meski sesungguhnya saat ini dipenuhi tanya. Deva ragu menguaknya.

Ah, Ivan... apa yang ingin kamu tunjukkan kepadaku?

Deva menghela napas panjang. Membulatkan dan beranjak dari tempatnya. Ia harus membuka loker itu sekarang.

Suara highheels yang dipakai Deva berbenturan dengan lantai tempat ia melangkah. Memecah keheningan lorong TnR.

Loker Ivan berada di lantai satu. Tepat di sebelah kanan pintu yang menghubungkan basement dan lobi TnR. Ada sebuah ruang kecil untuk para officeboy dan cleaning service di sana.

Deva belum pernah masuk ke ruangan itu. Jika akan pulang bersama Ivan, Deva lebih memilih menunggu di tempat parkir atau depan kantor. Tidak seperti Ivan yang selalu menunggunya di depan ruangan Deva jika Ivan lebih dulu selesai bekerja.

Ceklek! Ternyata ruangan tempat loker Ivan berada tidak terkunci. Deva bernapas lega. Mungkin masih ada yang belum pulang atau memang sengaja tidak dikunci. Deva menduga-duga sembari melangkah masuk. Ruangan itu tidak serapi ruangannya. Beberapa alat kebersihan teronggok di sudut ruangan.

"Ada apa, Mbak?"

Deva tersentak kaget. Seorang pria berumur tiga puluhan berdiri di sampingnya dnegan tatapan penuh tanya.

"Eh, Pak Heri." Untung Deva mengenal pria itu. Pak Heri itu cleaning service di lantai empat. Setiap kali Deva dipanggil untuk rapat bersama direktur, pasti bertemu dengan Pak Heri di lantai empat. Deva jadi tahu nama dan mengenal pria beranak tiga itu.

"Mbak Deva nyari siapa?" tanya Pak Heri. Pria itu sudah tidak mengenakan seragam kerjanya. Hanya kaos coklat tua dan celana pendek warna hitam.

"Em.. itu Pak, saya mau mengambil barang Ivan di lokernya," jawab Deva.

Pak Heri mengangguk mengerti. "Oh, begitu. Ivan sudah sadar ya, Mbak?"

"Iya, Pak. Kemarin lusa."

"Saya malah belum sempat nengok dia lagi."

Deva tersenyum maklum. "Bapak mau pulang ya?" tanyanya.

"Oh, iya. Apa tidak apa-apa saya tinggal?" Pak Heri terlihat enggan meninggalkan Deva sendiri.

"Tidak apa-apa, Pak. Nanti kunci ruangan ini saya titipkan ke Pak Dulah yang jaga di depan."

"Ya, Sudah kalau begitu. Saya duluan, Mbak." Pak Heri pun meninggalkan Deva sendiri.

BUKU YANG TERBUKATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang