Dia yang berulah tapi kami harus ikut menanggung akibatnya.
Pratama membawa wanita itu ke rumah.
Aku benci wanita itu.
Dia yang menjadi akar masalah.
Wanita ular!
Pratama bodoh! Aku benci dia!
&&
Hijau. Sepanjang mata memandang hanya warna itu yang terbingkai. Semua masih alami. Tak tersentuh zaman. Itulah yang Deva suka dari tempat kelahirannya ini. Meski tidak sepenuhnya terlihat alami. Beberapa rumah dan jalan di bagian muka desa telah bermetamorfosis. Mengikuti perubahan yang ada. Untunglah nenek Deva tidak merubah sedikit pun wilayah rumah dan kebun di sekitarnya.
Dua rumah berdiri kokoh di atas bukit kecil yang dikelilingi sungai. Di sanalah Deva dilahirkan. Sampai Deva berumur dua tahun, Deva tinggal di rumah itu. Deva tidak terlalu ingat seperti apa masa kecil yang ia habiskan di sini. Deva hanya tahu dari cerita nenek dan kedua orang tuanya serta beberapa saudara mereka. Deva yang manja dan tidak pernah mau lepas dari ibunya. Deva hanya mengingat satu kenangan di tempat ini. Sebuah kenangan yang membekas lekat dalam benaknya.
Dulu sekali ketika Deva berumur 6 tahun. Libur sekolah ia habiskan di tempat neneknya. Deva yang selalu menempel pada ibunya bertekad menghabiskan liburnya tanpa ditemani ibu. Sesuatu yang baru bagi Deva. Ia bersikeras untuk membiarkan ibunya kembali ke rumah. Mencoba meyakinkan ibunya ragu meninggalkan Deva. Akhirnya, ibu Deva kembali ke rumah tanpa Deva. Meninggalkan anak perempuan satu-satunya di rumah sang nenek.
Deva tidak sendirian. Beberapa saudara sepupunya juga berlibur di sana. Dan tentunya kakak Deva juga turut menemani. Sejak kecil, ketika bermain Deva akan mengikuti kemana pun kakaknya pergi. Satu-satunya teman Deva adalah kakaknya.
Hari pertama di rumah neneknya, Deva masih biasa saja. Terlihat ceria saat bermain bersama para saudaranya. Namun, rasa rindu terhadap ibunya menyergap begitu cepat. Di hari keduanya, Deva menangis tersedu. Nenek dan semua saudara seppunya berusaha membujuk dan menenangkan Deva. Tapi, tak ada satu pun yang mampu menghentikan tangis Deva. Gadis kecil itu menangis di kamarnya.
Seorang anak laki-laki masuk. Menatap Deva yang tertelungkup sambil menangis. Anak laki-laki itu menghampiri Deva. Duduk di tepi tempat tidurnya. Membelai sayang rambut panjang gadis itu.
"Sudahlah, Dek. Jangan menangis lagi. Kita akan pulang lusa."
"Deva maunya sekarang. Deva mau ketemu ibu."
"Mana bisa? Pulang naik apa? Mas nggak tahu jalan. Di sini aja dulu. Di sini kan rame."
"Nggak mau. Deva mau ketemu ibu."
Helaan napas keluar dari anak laki-laki yang lebih tua 2 tahun dari Deva itu.
"Deva kan kemarin udah janji sama ibu nggak bakal nangis. Kan Deva udah besar. Lagian di sini ada Mas yang jagain Deva." Lagi kalimat-kalimat menenangkan berusaha didendangkan untuk Deva.
Tangis Deva perlahan mereda.
"Mas bakal jagain Deva. Bakal temeni Deva di sini."
Deva yang lelah karena lama menangis akhirnya tertidur. Anak laki-laki itu masih membelai rambut Deva sampai tidur Deva benar-benar pulas.
##Deva menghela napas panjang. Menahan sesak dalam dadanya. Kedua matanya sudah berkaca-kaca. Mengingat satu kenangan itu selalu menguras emosinya. Membuat sesak dadanya. Menerbitkan sebuah rindu yang terpendam lama.
Ya, Deva rindu masa itu. Masa dimana sang kakak masih bersamanya, masih menjaganya. Tidak membiarkan Deva menangis atau pun terluka.
Entah sejak kapan sosok itu menghilang dari dunia Deva. Sosok pelindungnya telah berganti menjadi sosok acuh dan kasar.
"Ternyata lo di sini!"
Deva mendongakkan kepala segera. Suara yang dikenalnya membuyarkan semua kenangan dalam lamunannya. Seorang pria berdiri di depannya. Deva segera bangkit seraya mengambil buku dalam pangkuannya.
"Mau apa lo?" Seperti biasa, Deva tak perlu bersikap ramah untuk menghadapi pria itu.
"Gue..." Pria itu menunduk dalam kebingungan.
Deva tersenyum mengejek. Kemana perginya Pratama yang kasar dan pemaksa? Pria di hadapan Deva terlihat seperti seorang pengecut. "Mau minta duit hah?"
Pratama menggeleng sebagai jawaban tidak. Ada binar luka dalam sorot matanya. Apa Deva tidak salah lihat? Deva segera menepis praduga dalam benaknya. Tidak mungkin Pratama punya kesedihan. Pratama itu pria kejam.
"Gue minta maaf." Setelah mengumpulkan segala tekad, Pratama pun mengatakan kalimat itu.
"Apa?" Deva mendadak mual dengan apa yang diucapkan Pratama.
"Gue minta maaf karena selama ini sudah buat lo menderita."
Deva tersenyum kecut. "Elo? Minta maaf?"
"Maafin gue, Dev. Gue sudah jadi kakak yang nggak bener. Gue selalu nyusahin elo."
Deva mengelengkan kepala keras. Mencoba menolak segala hal yang baru didengarnya.
"Lo mau kan maafin gue, Dek?" Pratama mendekat dan menaruh tangannya pada lengan Deva. Menyalurkan rasa penyesalan yang coba diungkapnya.
Deva menyentak tangan itu. "Nggak!" Melepaskan diri dari ungkapan penyesalan Pratama. Menjauh sebisa Deva dari Pratama. Deva berlari sampai ke muka desa. Di belakangnya Pratama mengejar. Deva tidak mau tertangkap. Deva berlari hingga tidak menyadari jalanan di sekitarnya. Ternyata Deva sudah mencapai pada jalan beraspal pemisah Desa. Ia menoleh ke belakang. Pratama terengah mengejarnya. Sial!
Deva harus cepat. Ia kembali berlari menyeberang jalan beraspal yang tadinya sepi.
"Deva awas!"
Bruak! Satu bunyi benturan keras menjadi akhir dari aksi kejar-kejaran kedua kakak beradik itu.
Tubuh Deva terdorong keras. Rasa nyeri menyerang lengan dan kakinya. Cahaya putih menyelimuti pandangannya. Kabur lalu sosok Pratama terlihat sejenak. Berusaha menggapai dan tersenyum kepadanya. Hingga perlahan hitam menutup segalanya.
![](https://img.wattpad.com/cover/50287293-288-k878552.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
BUKU YANG TERBUKA
AcakIni tentang dirimu, tentang kebencianmu, dan tentang kita. Tertuang dalam buku itu. Mengungkap segalanya.