Habis. Habis semua!
Yang tersisa tidak akan cukup.
Lalu bagaimana?
Ayah...
Tidak mungkin membiarkannya.
&
Deva menolehkan kepala ke samping kanannya. Hanya kekosongan di sana. Tidak ada sosok yang biasa mengisi tempat itu. Tempat dimana Ivan biasa duduk bersandar dinding luar ruang tangga darurat. Di samping Deva bercengkrama bersama.
Tak ada Ivan sekarang.
Deva menyesap kembali rokok di tangan kanannya. Sudah lama ia tidak merokok. Ivan akan marah bila tahu Deva merokok lagi.
Ah, masa bodoh! Pria itu sekarat di rumah sakit.
Deva tak perlu mengkhawatirkan kemarahan Ivan. Ya, Deva benci jika Ivan marah. Pria yang lebih muda 4 tahun darinya itu akan diam jika sedang marah. Mengabaikan Deva dan tak akan berkomentar banyak seperti biasa. Deva benci diabaikan. Terlalu hampa jika Ivan tak banyak bicara. Selama setengah tahun ini, Deva sudah terbiasa dengan celoteh Ivan.
Celoteh Ivan yang menjadi penghibur Deva. Pria itu banyak bercerita tentang keluarga, teman, bahkan kehidupan sehari-harinya. Ivan seperti buku yang terbuka. Meski begitu, tak pernah pria itu mengeluhkan kerasnya hidup yang dijalani. Cerita Ivan didominasi dengan senyum ramahnya. Tidak seperti Carlo, rekan satu divis Deva yang hobi mengeluh jika diberi tugas banyak.
"Cewek itu susah dimengerti ya, Mbak."
Deva mengerutkan kening. "Kenapa?"
"Saya itu sudah ganteng, pintar pula. IPK jangan ditanya. Herannya, kenapa mereka nggak mau dekat saya?" Bukan raut sombong yang terlukis, Ivan malah membinarkan tatapan polosnya.
"Hmm.. mungkin cewek sekarang banyak yang matre."
"Nggak juga, Mbak. Si Doni yang hanya naik skuter nyatanya bisa punya pacar."
"Wah, kamu kalah dong!"
Ivan memamerkan cengiran khasnya. "Cewek itu aneh."
"Aku cewek lho, Van."
Ivan terkekeh. "Mbak Deva suka cowok kayak apa?"
"Aku suka cowok seperti apa?" Deva bergumam sendiri. Batang rokok yang dihisapnya sudah hampir habis. Menengadahkan kepala ke atas. Gumpalan awan putih berarak di atas sana bersama arus angin yang berhembus.
"Cowok kayak aku masuk dalam criteria cowok idaman Mbak Deva nggak?"
"Eh?" Deva berjengit. Cukup terkejut disodori pertanyaan spontan Ivan.
"Mbak lebih suka sama cowok matang ya? Pasti yang kayak Pak Devon."
Memilih diam, membiarkan Ivan berargumentasi sendiri. Ivan dengan pemikiran polosnya. Entah kenapa Deva tidak pernah terganggu dengan hal itu. Ivan yang jujur dan apa adanya.
"Kamu terlalu baik, Van." Setetes butiran bening lolos turun melewati pipi Deva. "Dan juga bodoh!"
Drrrttt drrrttt.
Ponsel Deva bergetar. Memecah lamunan Deva tentang Ivan. Sebuah nama yang Deva kenal muncul di layar ponselnya. Okta, si resepsionis banyak tahu.
"Ya?"
"Mbak dimana?"
"Ada apa?" Bukan menjawab, Deva malah balik bertanya.
"Ada yang nyari, Mbak. Buruan ke lobi, Mbak."
"Baik." Klik. Deva tak perlu banyak kata. Akhir-akhir ini ia memang tak banyak bicara. Lagi pula, sepertinya terjadi sesuatu yang mencemaskan. Terlihat jelas dari nada suara Okta. Apa yang terjadi sebenarnya? Siapa yang mencarinya di jam kerja siang bolong begini?
*#*
"Mau apa lo?" Deva tak suka basa-basi. Terlebih jika ia dihadapkan pria yang paling dibencinya. Ya, berbasa-basi dengan Pratama hanya membuang waktu.
"Gue butuh uang," jawab Pratama. Wajahnya pias tak seperti biasa. Meski pencahayaan di basement minim, Deva masih dapat melihat dengan cukup jelas wajah lesu Pratama.
Apa yang dilakukan pria ini? "Gue bukan orang yang bisa lo maintain duit!" tegas Deva. Amarahnya ingin sekali diledakkan. Kenapa pria sialan ini selalu meminta uang kepadanya? Deva menarik napas dalam-dalam. Ia tidak bolek meledak di sini. Tidak di kantornya.
"Gue tahu lo punya." Pratama tetap mendesak.
"Apa motor gue yang lo ambil semalam nggak cukup?" Tangan Deva terkepal erat.
Pratama menggeleng.Sebuah jawaban yang akhirnya membuat amarah Deva meluap. Deva mendorong tubuh Pratama hingga punggung pria itu menubruk salah satu tiang penyangga basement.
"Apa lagi yang lo buat kali ini?" Cengkeraman di kerah kemeja Pratama mengerat. Menunjukkan seberapa besar amarah Deva. Ia memang seorang wanita dengan kekuatan yang tak akan bisa melebihi kekuatan pria. Tapi, ketika kemarahan melingkupi, jangan pernah meremehkan kekuatan seorang wanita.
"Gue butuh lima juta."
"LIMA JUTA!" bentak Deva. "Lo pikir gue punya?"
"Lo pasti punya. Sedan lo itu bisa kan?"
Sialan! Deva menghentak kerah kemeja Pratama seraya menjauhkan diri. "Lo gila!"
"Lo jauh lebih gila!" desis Pratama.
Deva menundukkan kepala. Sialan! Mengumpat dalam hati dan berpikir sejenak tentang apa yang harus ia lakukan terhadap pria sialan di depannya.
"Ayolah, Dev." Pratama masih menunggu.
"Ambil yang lo mau!" Deva melempar sebuah dompet kulit kea rah Pratama.
Pratama menangkapnya. Membuka dompet itu dan mengambil beberapa kartu atm yang dibutuhkannya. "Gue tahu lo selalu bisa diandalkan."
Deva menggeram tanpa sepatah kata pun. Membiarkan Pratama melewatinya dengan senyum penuh kemenangan. Ya, Pratama selalu menang dan Deva menjadi pecundang. Sejak dulu Deva selalu kalah dan berakhir dengan tangisnya. Seperti sekarang. Deva terduduk lemas menangisi kekalahannya. Menangisi ketidakberdayaannya.
*#*

KAMU SEDANG MEMBACA
BUKU YANG TERBUKA
RandomIni tentang dirimu, tentang kebencianmu, dan tentang kita. Tertuang dalam buku itu. Mengungkap segalanya.