Buku 1

283 14 0
                                    

BUKU 1

Hey, dia kerja kan?

Duitnya dikemanain?

Pratama sialan! Makhluk nggak modal!

Aku kecolongan. Bener-bener sial!

&

Pagi ini ada yang berbeda di kantor TnR enterprise. Ini bukan karena Deva yang memakai rok spandek dan blouse dengan warna tidak senada. Merah hari dan coklat memang nggak nyambung. Deva memang sedang tidak mempedulikan penampilannya saat ini. Wanita berumur 26 tahun itu asal comot pakaian tadi.

Lobi TnR penuh orang pagi ini. Suatu yang tidak biasa mengingat ini masih pukul 7.30 pagi. Terlebih orang-orang itu berkumpul di depan meja resepsionis layaknya segerombol ibu-ibu yang sedang bergosip di pasar. Deva melirik sebentar gerombolan orang di depan meja resepsionis itu seraya melangkah menuju lift.

Sayangnya, sosok Deva terlihat oleh satu rekan di divisinya. Riandra melambai padanya sambil menyuarakan nama Deva. "Dev... Deva, sini!"

Deva tak punya pilihan lain, daripada ditarik paksa Riandra nanti. Mengingat betapa pemaksanya rekan Deva satu itu. Langkah Deva pun berbelok menghampiri Riandra.

"Sampai sekarang gue denger Ivan belum sadar." Suara Okta yang pertama didengar Deva ketika ia sampai di samping Riandra.

"Ada apa?" tanya Deva pada Riandra setengah berbisik.

"Lo belum tahu kejadian yang menimpa Ivan?" Bukan menjelaskan, Riandra malah balik bertanya.

Deva menggeleng sebagai jawaban ketidaktahuannya.

"Ivan ditabrak orang semalam. Kasihan dia, luka parah," terang Riandra.

"Kepalanya kena parah." Suara Okta kembali menarik perhatian seluruh orang di tempat itu. Menghentikan obrolan Riandra dan Deva. Keduanya tak saling bicara. Diam sejenak untuk menyimak informasi yang diucapkan Okta.

Tidak tahu bagaimana menyebut Okta itu sebagai biang gossip atau gadis dengan segudang informasi. Okta itu resepsionis yang selalu tahu. Informasi apa saja yang berkaitan dengan orang-orang di TnR pasti bisa didapat gadis itu. Mulai dari Pak Maman office boy di lantai 3 yang punya istri dua, sampai berita anak Pak Direktur yang baru luus SMA.

"Kasihan Ivan. Buat biaya kuliah aja susah, ini malah ketiban apes," lanjut Okta.

"Yang nabrak udah ditangkap belum?" Seorang pria menyahut. Deva tidak kenal pria itu yang entah dari divisi mana.

"Belum. Gue denger penabraknya langsung kabur," jawab Okta.

"Tabrak lari dong!" sahut Riandra. Yang lain manggut-manggut menyetujui apa yang diserukan Riandra.

"Ada saksi mata nggak tuh?" tanya Ahmad, salah satu satpam yang berjaga di lobi.

"Ada. Orang yang bawa Ivan ke rumah sakit. Cowok yang ditemui Ivan katanya," jawab Okta.

Deva mengerutkan kening. Cowok yang ditemui Ivan? Buat apa Ivan menemuinya?

Deva melangkah mundur, menyingkir dari kerumunan. Ia tidak bisa berpikir jernih dalam keramaian orang. Deva butuh berpikir lebih. Informasi yang baru diterimanya cukup berat untuk dicerna otaknya.

Aku benar-benar nggak ngerti dengan apa yang ada di otak Ivan! Cowok bodoh!

&

Kenapa harus kamu?

Rumah sakit itu bau obat, bau orang sakit, dan bau kesedihan. Itu sebabnya Deva benci rumah sakit. Sejak dua tahun yang lalu, Deva tak pernah lagi menginjakkan kakinya ke rumah sakit. Tempat ini hanya akan mengingatkan Deva pada wajah menderita ayahnya karena kanker paru-paru. Mengingatkan Deva pula pada tangis ibunya saat kehilangan orang yang paling dicintainya. Namun sekarang, Deva terpaksa berada di tempat ini. Berjalan menelusuri koridor bercat putih.

Ini karena rasa bersalah Deva. Ia tidak bisa berdiam diri menunggu kabar atau obrolan teman-teman kantornya mengenai kondisi Ivan. Deva harus melihat sendiri kondisi pria itu.

Dasar pria bodoh! Untuk apa kamu nolong Pratama sialan itu?

Deva menghentikan langkahnya. Ruang ICU hanya berjarak satu meter dari tempatnya berdiri. Namun, Deva tidak bisa meneruskan langkahnya. Pak Heru - bos Ivan di kantor - tengah berbicara dengan seorang pria paruh baya. Deva seperti pernah melihat pria paruh baya itu. Ayah Ivan. Benar, dilihat dari bentuk wajah pria itu memiliki kemiripan dengan Ivan.

"Bapakku itu sudah tua. Rambutnya sudah beruban. Tubuhnya kurus dan dari hari ke hari kulitnya semakin hitam. Kerjanya di bawah terik matahari terus sih."

Deva ingat beberapa celoteh Ivan tentang ayahnya. Ivan sangat mengagumi pria paruh baya itu. Sama seperti dirinya yang mengagumi ayahnya. Seorang pria paruh baya pekerja keras yang rela melakukan segalanya demi kebahagiaan kelaurganya.

Deva bergeming. Enggan mendekat dan tak mau terlibat. Tiba-tiba Pak Heru mengedarkan pandangan ke arah Deva. Buru-buru Deva membalikkan badan dan pergi. Bisa gawat jika dia terlihat.

Ivan koma.

Satu informasi itu Deva dapat dari dokter yang merawat Ivan. Tak hanya itu, kaki Ivan pun dinyatakan patah.

Wajar saja jika kondisi Ivan sangat buruk. Sedan yang dikendarai Deva waktu itu menabrak dengan sangat keras.

Harusnya Pratama yang koma atau mati sekalian!

Deva mengacak rambut frustasi. Kejadian di luar rencana ini memang membuat wanita 25 tahun itu uring-uringan.

Tok tok tok!

Suara ketukan di pintu depan rumah Deva memecah lamunannya. Ini hampir tengah malam, siapa yang...

"Buka pintunya!"

Suara itu...

Deva kenal betul siapa pemilik suara itu. Apa mau pria sialan itu?

Deva enggan bergerak dari tempatnya. Kepalanya dibiarkan terkuai di atas meja makan. Biar saja. Deva memilih diam di tempat dan menunggu pemilik suara di depan rumahnya itu pergi.

"Buka pintunya! Gue tahu elo di rumah!" Kali ini suara itu terdengar lebih nyaring dari sebelumnya.

Benar-benar makhluk sialan yang harus dibinasahkan!

Menghela napas gusar, Deva bangkit melangkah menghampiri pintu depan. Ceklek! Seringai tajam menyambut Deva begitu pintu dibukanya. Seringai yang dibenci Deva.

"Mau apa lo?" tanya Deva tak suka.

Bukan menjawab, pria itu melangkah santai melewati Deva memasuki rumah. "Nggak bisa manis dikit nyambut gue?"

Bicara manis? Cih! Deva tak akan pernah mau jika berhadapan dengan pria sialan ini. "Apa mau elo?" Lagi, Deva menanyakan hal sama. Ia tak suka berbasa-basi.

"Kunci motor lo mana?" Tangan kanan pria itu menengadah meminta barang yang disebutnya.

"Elo punya motor sendiri, kan?" jawab Deva. Ya, motor yang dibeli dengan uang Deva.

"Motor gue rusak. Besok gue harus kerja."

"Itu masalah lo!" sarkas Deva.

"Gue pinjam motor lo!" Nada memaksa jelas ketara dari suara pria itu.

"Gue nggak mau pinjemin motor!" Deva bersikukuh.

"Pelit amat, ck!" Merasa tidak mendapatkan apa yang diinginkannya, pria itu mengedarkan pandangan ke seisi rumah. "Lo taruh dimana sih kuncinya?" Langkahnya mendekati lemari pajangan di ruang tamu. Membuka beberapa laci, mencari barang yang diinginkannya.

"Sialan! Apa sih mau lo?" Deva menarik lengan pria itu. Menghentikan aksi pria itu sebelum rumah Deva diacak-acak.

"Gue butuh motor lo!"

"Gue juga butuh motor itu!"

Keduanya sama-sama keras kepala. Deva menarik napas dalam-dalam untuk meredakan emosinya. Ia tidak mau lepas kendali.

"Lo kan bisa naik bus atau pakai sedan item baru lo itu."

Deg. Jantung Deva seakan berhenti sejenak. Sedan hitam? Bagaimana bisa... dia?


BUKU YANG TERBUKATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang