Pisah???

3.3K 75 14
                                    

Author : @lainilaini

Bunga-bunga sedang bermekaran di hatiku sekarang. Alasannya simple, seharian aku dan Vino menghabiskan waktu bersama. Yeah, aku dan Vino bersahabat dari kecil, dia adalah tetangga sekaligus teman seperjuangan. Seperjuangan tumbuh besar dari masa bayi unyu unyu sampai saat ini usiaku 22 tahun yang juga masih unyu. Dehhh kalau Vino mendengarkan aku mengucapkan kata ‘unyu’ pasti dia langsung membungkam mulutku. Seperti ababil katanya. Lucu sekali dia, apa hubungannya unyu dengan ababil coba? Ck.

“Heh, ngapain kamu senyum-senyum sendiri? Sakit?” Vino memandangku dengan sorot bertanya. Dan kini aku mulai bertanya-tanya, apa hubungannya senyum-senyum dengan sakit? Bukankah selama ini senyum-senyum itu ibarat gila? Dasar Vino aneh.

“Sakit? Sejak kapan orang senyum-senyum itu sakit Vin?” tanyaku serius.

“Sejak jaman penjajahan Belanda nona! SAKIT JIWA!” ucapnya sembari tergelak.

“Itu mah kamu, GILA!” Tanpa ragu kepalanya menjadi korban toyorku. Gerrr, aku sudah memutar otak sekuat tenaga, ternyata maksud kata-katanya di luar dugaan.

"Udah yuk Fa, sekarang kita ke Bukit Bintang."

"Ngapain?"

"Cari wangsit!" ucapnya enteng sembari menarik tanganku menuju tempat parkir.

"Cari wangsit kok di Bukit Bintang sih Vin? Emang ada ya di sana?"

“Hadehhh Syafaaa…kamu itu bikin gemes aja. Memangnya selama ini kita ngapain kalau pergi ke Bukit Bintang, hah? Nongkrong sembari menikmati pemandangan Jogja kan? Pake nanya lagi!”

“Hehehe..iya yah gak kepikiran Vin, sumpah ga kepikiran pake banget! Tapi ngomong-ngomong singkirin tangan kamu dari pipi aku Vin, sakit tau! Sakit pake banget!” ucapku sembari meringis karena kedua tangannya yang mencubit pipiku gemas. Difikir pipiku ini bakpau apa bisa dianiaya begini. Huh.

"Abis kamu dodol ga pinter-pinter dan tau ga Fa? dodol pake banget!"

Gerrr...sejak kapan ini Vino menjadi ikut-ikutan bahasaku? kata-kata 'pake banget' dengan gaya lebaynya membuatku risih. Sebagai balasan, cubitan di pinggangnya membuat dia meringis meminta ampun.

---

Dan di sinalah kami sekarang, duduk berdampingan menikmati indahnya kota Jogja dari Bukit Bintang. Dadanya yang kokoh menjadi sandaranku.

“Indah.” gumamku.

Tak ada jawaban dan dia masih bergeming.

“Vin?” tanyaku masih tanpa mengalihkan pandangan dari arah kota.

“Kapan ya Fa kita bisa ke sini lagi bersama?”

“Kapanpun kamu mau!” ucapku singkat meskipun pertanyaannya sungguh tak kumengerti, pertanyaan yang aneh.

“Tidak bisa lagi Fa, besok aku terbang ke Kalimantan dan aku akan mencoba belajar mandiri!”

Reflek aku menyudahi rasa nyaman bersandar di dadanya dan menatapnya tajam.

“Apa maksudmu? Ini tidak lucu sama sekali dan ini bukan April Vin! Bukankah kamu sendiri yang bilang kalau kamu tak akan meninggalkanku, hah?” cecarku dengan suara sarat emosi. Tuhan, apa jadinya aku tanpa seorang Alvino, dia selalu berada di sekitarku dan bahkan semua teman lelaki menjaga jarak denganku karena keberadaannya. Good, sebentar lagi aku akan menjadi wanita kesepian. Ck.

Sekilas pemikiran bodohku berganti dengan ucapan mama yang akan mengirimku besok pagi ke Jakarta. Hebat! Bahkan karena kesenanganku bisa melupakan tujuan utamaku bertemu dengan Vino hari ini, yaitu pamitan. Sepertinya keadaan sedang berkorelasi denganku. Aku pergi, dan Vino pergi.

“Lebay ih lebay. Aku pergi cuma sebentar doang nona, walaupun tak tau berapa lama, tapi yang pasti aku akan kembali.” Mulutnya berucap ringan dan matanya sarat akan permohonan ijin.

“Emmm…Vin sebenarnya besok aku juga harus ke Jakarta untuk waktu yang tidak kuketahui, mama mmemintaku ke rumah Tante Nina untuk membantunya!”

“HAH?” hahahaha…aku tertawa dalam hati melihat mulutnya yang kini menganga lebar. Dia yang tadinya memberikan kejutan, sekarang giliranku memberinya kejutan. Lucu sekali jalan hidup kami ini. Unyu bukan?

“GILA kamu Fa! Mau pergi besok dan sampai sekarang tidak memberitahuku?” ucapnya dengan pandangan tak terima.

“Kamu juga gila Tuan!” ucapku tak teruma. Dia mengacak rambut frustasi.

“Baiklah, jadi ini adalah malam terakhir sebelum kita berpisah teman! Lebih baik kita menikmatinya, karena besok sewaktu kita kembali kita bukan lagi teman, tetapi sepasang suami istri.”

Hah? Apa Vino bilang? Suami istri? Kurasa pendengaranku mulai tidak beres. Aku berdecak kesal sembati menggelengkan kepala.

“Apa katamu?” tanyaku akhirnya.

“Aku ke Kalimantan akan bertemu orang tuaku dan meminta ijin meminangmu. Aku akan belajar mandiri bersamamu. Jika kamu tidak keberatan, oh iya, perlu kamu tau juga Fa. Tante mengirimmu ke Jakarta untuk membantu Tante Nina menjemput Ashila adikmu.”

“Jadi?”

“Jadi kita berpisah sebentar dan akan kembali bertemu untuk memulai kehidupan baru.” Ucapnya sembari memamerkan senyum lebarnya.

“Bagaimana kalau aku tak setuju?”

“Aku tak perlu persetujuanmu karena om dan tante sudah menyetujuinya, kamu tak ingin menjadi anak durhaka kan?”

Aku menggelengkan kepalaku masih tak percaya atas apa yang Vino katakana. Semua begitu rapi dia lakukan. Senangkah hatiku? Tentu saja. Karena di balik persahabatan ini aku mencintainya. Tuhan memang menyayangiku. Besok kami berpisah, tetapi berpisah untuk bersatu.

“Unyuuuuuu...mmm.” Teriakku lantang. Namun sedetik kemudian suaraku menghilang karena bibirnya yang membungkam mulutku.

-The End-

PerpisahanWhere stories live. Discover now