You Got The Wrong Enemy

1.3K 50 8
                                    

Author : @Riangindaun

Sumprit, sumprit, sumprit! Sial banget bisa deket-deket laki kaya gini dengan tunangan seperti itu. Apaan, tuh, tadi maksudnya?

Aku kesal bukan main. Sedang asik-asiknya memadu kasih tiba-tiba apartemen kekasihku digedor, kasar. Lalu seorang wanita masuk tanpa permisi ketika pintu dibuka. Tanpa ba-bi-bu dia masuk ke kamar tidur dan marah-marah. Aku tidak mendengarkan jelas apa yang dia ucap karena otakku belum berfungsi dengan baik atas godaan penuh janji kenikmatan tadi. Namun aku masih bisa menangkap kata ‘tunangan’ yang dia sebut berulang-ulang. Hingga akhirnya kewarasan mulai mendekatiku ketika melihat jari manisnya tersemat sebuah cincin dengan permata hijau zamrud. Cincin itu sama persis dengan cincin yang dipakai Juan, kekasih baruku. Dengan sedikit sisa harga diri aku keluar dari apartemen itu. Beruntung tunangannya itu hanya menyerang frontal secara kata-kata, tidak ada tindakan fisik yang melukai.

Huh, sial!

Juan sangat seksi, secara naluri aku tidak bisa menolak ketika dia merayuku seminggu lalu. Gairah yang menggebu membuatku mengabaikan cincin yang mengusik mata di jari manisnya. Mungkin saja itu cincin dari ibunya, bukan? Banyak sekali alasan untuk menepis kecurigaan atas cincin yang dia pakai. Belum lagi hubungan kami seminggu ini begitu panas juga menggoda, sangat sayang untuk dilewatkan. Dan aku seratus persen melupakan masalah cincin.

Argg, seharusnya aku tahu itu cincin tunangan! Tidak, bahkan seharusnya aku curiga itu cincin perkawinan. Bodohnya aku. Cincin ditanah Ratu Victoria ini merupakan hal yang aneh jika dipakai lelaki lajang. Sial! Darah ketimuran membuatku lalai. Di indonesia memakai cincin merupakan hal biasa.

Aku masih terus menggerutu hingga memasuki flat yang kusewa bersama Cameron. Aroma mentega dari cream bluree tercium dari dapur. Pasti Cam sedang praktek memasak lagi. Dia begitu serius dengan perkataannya dua tahun lalu, menjadi pengajar sekaligus koki yang handal. Yeah, aku dan Cam bertemu di University Collage London tempat kami mengenyam pendidikan sampai sekarang.

“Hua, kamu sudah pulang.” Ucapnya terkejut mendapati kehadiranku.

Aku tersenyum malas sambil duduk di depan meja makan. Hua? Apa terdengar aneh? Tidak juga seharusnya. Hua artinya bunga dalam bahasa Mandarin. Seingatku ada R dibelakangnya, tapi semua orang tahu bahwa lidah orang cina tidak akan bisa mengucap R dengan fasih. Lagipula aku tidak bisa berbahasa mandarin dengan baik. Tinggal di Indonesia dengan hampir seluruh keluarga menggunakan bahasa melayu atau cina khek membuatku tidak butuh belajar bahasa bahasa cina daratan.

“Aku mau cream bluree itu Cam.” Kataku tanpa basa-basi.

Emosi membuatku merasa lapar. Oh, tolonglah aku tidak patah hati. Dadaku hanya dipenuhi rasa kecewa dengan apa yang terjadi tadi.

“ Ada masalah apa?” Tanya Cam tepat dengan berderingnya handphone-ku.

Aku melirik layar handphone yang bertuliskan ‘my Juan’ calling. Aku ingin mengabaikan tapi sepertinya lebih cepat menyelesaikan masalah ini lebih baik.

Cukup lama kami melakukan perdebatan via telepon hingga akhirnya aku setuju untuk bertemu dengannya malam ini. Setelah menerima kesepakatan pembicaraan pun terputus. Aku kembali duduk menikmati cream bluree buatan Cam tanpa bicara.

*

Disinilah aku sekarang di sudut ruangan dalam sebuah restoran romantis nan mewah. Duduk didepanku pria seksi yang menjadi kekasihku seminggu ini. Dia sangat tampan dengan kemeja biru tua itu.

Sudah setengah jam kami duduk disini namun hanya ada kebisuan. Masing-masing memilih untuk menikmati makanan yang tersaji di depan mata.

“Ahhum!” Dia berdehem pelan menarik perhatian.

Aku menoleh padanya tanpa bertanya. Aku hanya perlu menunggu penjelasan.

“Maafkan aku.” Itu kalimat pertama yang dia ucap, “Aku tidak bermaksud menyembunyikan statusku padamu.” Itu kalimat kedua, “Aku sangat menikmati kebersamaan kita terutama...” dia terlihat ragu melanjutkan.

“Terutama?” Tanyaku sedikit penasaran.

“...terutama ketika kau berada dibawahku.” Lanjutnya menjawab rasa penasaranku.

Shit! Dia memanfaatkan tubuhku.

“Hanya itu?” Tanyaku datar, meredam emosi.

“Aku tertarik padamu tapi bukan untuk jangka panjang.” Ucapnya semakin berani, “Jasmine, tunanganku, dia calon ibu yang baik untuk anak-anakku kelak.”

Matanya sedikit berbinar ketika mengatakan itu. Sialan!

“Apa kau mencintainya?” Tanyaku hati-hati sambil berusaha menguatkan diri atas apapun jawabannya.

Dia tampak berfikir, “Entahlah, tapi aku merasa nyaman berada disekitarnya.”

Aku menghela nafas. Sudahlah, ini berakhir. Aku kecewa itu pasti, tapi merebut tunangan orang lain bukan prioritasku.

“Boleh aku meminta tiga hal sebelum kita berpisah?” Tanyaku akan membuat penawaran.

“Apa?” Tanyanya balik.

“Boleh atau tidak?”

Ragu namun akhirnya dia mengangguk.

Aku tersenyum, “Pertama, biarkan aku menghabiskan ini sampai limit.”

Tanganku mengacungkan kartu kreditnya. Dia melotot melihat kartu kredit itu berada ditanganku. Mungkin dia lupa kalau kemarin dia meminjamkannya padaku untuk berbelanja.

Dia menelan ludah sebelum berkata, “Baiklah.”

“Terima kasih.” Ucapku tulus.

Dia harus membayar mahal atas kekecewaanku. Ha-ha-ha! Dia tidak tahu kalau anak orang cina selalu dididik menghasilkan uang dengan berbagai cara -dalam bisnis tentunya bukan menjual diri. Aku anggap saja ini sebagai bisnis penghapus kekecewaan.

“Kedua, berikan apartemen kemarin padaku. Aku rasa itu hanya apartemen peristirahatanmu, kan, bukan apartemenmu yang sebenarnya.”

Dia terlihat akan protes namun akhirnya berkata, “Baiklah.”

Aku tersenyum sangat senang. Sewa flat kami akan berakhir awal bulan depan. Setidaknya kami akan tahu pindah kemana setelah masa sewa berakhir.

“Ketiga,” aku mendekat padanya, menariknya berdiri, “kau pria sejati, kan? Pria sejati tidak akan menarik kata-katanya. Kau harus menepati apa yang kau setujui.”

Dia mengangguk mantap, “Tentu saja!”

“Baiklah kalau begitu, “aku mengusap dadanya dengan tangan kanan sedang tangan kiri berpegang dibahunya, “izinkan aku melakukan ini...”

Sekuat tenaga kutendang apapun yang ada di diantara kedua pahanya dengan lututku sambil berteriak, “Brengsek, go to hell!”

Dia meringkuk kesakitan dengan mulut terbuka katup ingin mengatakan sesuatu tapi tak bisa. Aku tersenyum kepadanya.

“Tepati janjimu pria sejati dan terima kasih.” Ucapku ringan kemudian berlalu.

-end-

PerpisahanWhere stories live. Discover now