Harta Gono Gini....???

2.1K 80 32
                                    

 Author : @RaMinaMi

Berada di sebuah kafe, duduk berhadapan dengannya. Dan kurasa inilah saat nya aku mengungkapkan keputusan yang sudah sedari tadi malam kufikirkan.

“Yank.” panggilku.

“Heum?” tanyanya tiba-tiba menatapku dengan penuh cinta.

Aduh, tiba-tiba saja aku tidak sanggup untuk mengungkapkan keputusanku ini karena tatapan matanya itu. Aku mencintainya, dan aku juga yakin bahwa dia juga mencintaiku. Namun kurasa, kami sudah tidak mungkin bisa melanjutkan hubungan kami ini.

“Ah, i…ituuu…a…aku pengen ngomong sesuatu.” ucapku gugup.

“Iya. Ngomong aja Yank.” Dia meraih jemariku dan menggenggamnya erat, berusaha menenangkanku yang sangat terlihat gugup.

Aku menghela nafas panjang sebelum mengungkapkan keputusanku. “Yank, mending kita putus aja yah.” ucapku pelan, menggigit bibir bawahku dan menunduk, berusaha menahan tangisku.

Aku benar-benar tidak sanggup lagi untuk menatapnya. Kurasakan genggamannya pada jemariku terlepas, kudengar juga helaan nafas panjangnya. Ya Allah, aku tidak ingin melakukan ini, tapi aku harus. Tanpa kusadari air mata sudah mengalir di pipiku.

“Ssssttt. Yank, jangan nangis dong. Ya udah kita putus.” ucapnya pelan, mengusap air mata di pipiku dan mencoba menenangkanku.

Dan bertambah keraslah tangisku. Kenapa dia semudah ini mengiyakan keputusanku. Jangan-jangan sebenarnya dia sudah tidak mencintaiku.

“Loh loh Yank. Ko tambah kenceng nangisnya. Sssttt sstt. Udah ya udah, kita putus ko kaya yang kamu mau.” ucapnya lagi.

Huwaaaa. Memang itu keputusanku, tapi sesungguhnya aku tidak ingin.

~oOo~

Beberapa menit berlalu, dan akhirnya aku bisa menghentikan tangisku. Kami masih duduk berhadap-hadapan, dan kulihat senyum menenangkan darinya.

“Jadi, sekarang aku nggak boleh manggil Yank lagi?” tanyanya.

“Iyah. Aku juga nggak boleh manggil kamu Yank.”

“Kita teman?” ucapnya memajukan tangannya untuk menjabat tanganku.

“Yah, teman.” jawabku tersenyum dan menjabat tangan hangatnya.

Terdiam lama, hanya saling berjabat tangan. Seolah sama-sama tidak ingin mengalami perpisahan ini.

“Oke, Ya..eh, maksudku Are. Sepertinya aku harus pulang.” ucapku berpamitan dan segera beranjak dari dudukku.

“Perlu kuantar?” tanyanya.

“Nggak, aku bisa naik taksi. Sampai jumpa lagi Are.” ucapku dan segera berjalan meninggalkannya.

“Fay.”

Namun baru beberapa langkah aku berjalan dia sudah memanggilku. Jangan-jangan dia berfikir untuk menentang keputusanku tadi, tiba-tiba perasaanku melambung lagi. Jika memang dia menentang keputusanku tadi, aku yakin, aku akan mau kembali padanya. Aku masih mencintainya, dan aku merasa bodoh dengan keputusanku tadi.

“Yah?” ucapku berbalik, dan tidak kuasa menahan senyumku yang mengembang lebar di wajahku.

“I…itu, bukankah yang kau pakai sekarang gelang hadiah ulang tahun dariku?” tanyanya memiringkan kepalanya mengamati.

“Iyah.” Jawabku bingung.

“Bisakah kau kembalikan padaku?” tanyanya tenang.

Dan aku langsung menganga tidak percaya akan sikapnya itu. Apa? Dia meminta kembali gelang yang dia berikan sebagai hadiah ulang tahun ini? Tatapku nanar pada gelang yang saat ini melilit indah di pergelangan tanganku.

“Ma…maksudnya?” tanyaku masih setengah tidak percaya.

“Aku tidak ingin kau terus menerus mengingatku karna barang-barang tidak penting itu. Jadi….kukira akan lebih baik jika barang-barang itu kembali padaku.” jawabnya.

“Hah?” tanyaku masih antara bingung dan tidak percaya.

“Gelangnya.” ucapnya sembari menadahkan tangannya ke arahku.

Hah. Benar-benar tidak bisa dipercaya. Dia meminta gelang hadiah darinya setelah kami putus di tengah-tengah kafe yang ramai ini. Dan saat ini hampir seluruh mata memandang ke arah kami berdua. Dengan kesal aku melepas gelang tersebut dan segera mengangsurkan kepadanya.

Tetapi sepertinya aku tidak bisa tinggal diam. Kutelusuri dia dari atas ke bawah hingga aku terpaku pada sepatunya.

“Oh iya Re, bukannya sepatu itu juga hadiah dariku?” ucapku menadahkan tanganku dengan senyum semanis mungkin. Saatnya balas dendam.

“APA?” serunya terkejut. Dan aku hanya tersenyum dan menganggukkan kepalaku.

“Tapi Fay, masa iya aku pulang nggak pake sepatu?” ucapnya memelas, yang hanya kujawab dengan mengangkat bahuku cuek.

Dan dengan kesal dia melepas sepatunya dan melemparkannya ke arahku. Membuatku benar-benar ingin tertawa karenanya.

“Ck, ya udah kembaliin juga itu blazer yang kamu pake. Itu juga aku yang beliin kan.” ucapnya menadahkan tangannya dengan senyum licik.

Gggrrr. Masa iya aku pulang cuma pakai tanktop? Are gila! Kenapa aku bisa cinta sama orang gila macam dia sih! Dengan sangat sangat kesal aku melepaskan blazerku dan melemparkan ke arahnya, dengan diiringi tatapan para pengunjung kafe. Perduli setan dengan mereka! Aku udah nggak punya malu sekarang!

“Itu juga, celana kamu kan aku yang beliin!” ucapku.

“HAH? Terus aku pulang nggak pake celana gitu?” jawabnya.

“Nggak perduli, Aku juga cuma pake tanktop sekarang.”

Dan dengan kesal dia melepas celananya. Untung dia masih memakai celana kolor pendek di dalamnya.

“Udah kan harta gono gininya? Sekarang bisa kita putus baik-baik?” ucapku menahan kesal yang sudah mencapai ubun-ubun.

“Iyah. Kita putus.”

Dan begitulah akhir dari kisah cinta tragisku, dengan pria gila bernama Narega Wijaya alias Are.

-The End-

PerpisahanWhere stories live. Discover now