"I've loved you so much that anything else sounds like a lie."
-----------------------------------------
Aku membuka pintu coklat yang berada di depanku dengan susah payah. Aku menutupnya kembali lalu berjalan pada pria tadi yang tengah menungguku dengan tidak sabar di atas ranjang.
Ia mendongakkan kepalanya begitu mendapatiku berdiri di hadapannya. "Kau sudah membawa minumannya?" Tanyanya.
Aku mengangkat kedua gelas yang sedari tadi kupegang. Aku menyodorkannya satu dan ia langsung meneguknya dengan sekali teguk. Ia menyimpan gelasnya yang kini sudah kosong diatas laci tepat disampingku.
Ia berusaha meraih tubuhku namun aku mendorongnya dengan cukup kuat sehingga kini ia terlentang diatas ranjang. Ia nampak kebingungan dengan apa yang baru saja kulakukan.
"Kau menginginkanku?" Tanyaku seraya merangkak menaiki tubuhnya.
Ia mengangguk. "Aku menginginkanmu sekarang,"
Ia berusaha untuk menarik bajuku namun aku menepis lengannya agar menjauh dari tubuhku. "Kau harus menunggu untuk itu,"
"Oh, ayolah. Apa kau ti- oh sial," Ia memegangi kepalanya. Aku tersenyum tipis karena cairannya bereaksi dengan cepat.
"Ada apa?"
"Kepalaku pening,"
"Mungkin kau minum terlalu banyak,"
"Aku hanya mi-" Sebelum ia bisa menyelesaikan kalimatnya, ia sudah tak sadarkan diri.
Aku turun dari tubuhnya, mengambil barang-barang berharganya sebelum keluar dari ruangan ini. Aku mengambil handphone dan dompetnya lalu keluar meninggalkannya menuju tempat parkir untuk menemui Justin.
"Aku mendapatkannya," Ucapku seraya duduk disampingnya.
Ia menyeringai seraya mengambil barang-barang itu dari tanganku. "Kapan kau pernah gagal?" Gumamnya lalu ia menyalakan mesin mobilnya.
Aku tidak mengingat perjalanan pulang. Yang kuingat hanyalah semuanya gelap. Mungkin aku tertidur selama perjalanan menuju rumah. Aku membuka pintu putih di depanku dan seketika itu juga udara hangat langsung menyelimuti tubuhku.
Aku langsung menyeret tubuhku menaiki anak tangga satu per satu menuju kamar dan aku langsung melemparkan tubuhku keatas kasur. Ini lebih baik.
"Kau nampak kelelahan," Gumamnya. "Apa yang kau lakukan dengan pria tadi?"
Aku langsung menatapnya setelah mendengar pertanyaannya. Pertanyaan macam apa itu?
"Apa maksudmu dengan apa yang kulakukan dengan pria tadi?"
Ia mengangkat bahunya. "Apa kalian melakukan sesuatu?"
Aku memejamkan mataku perlahan sembari menghirup nafas panjang.
"Aku tidak melakukan apapun dengannya,"
Ia mengangkat daguku sehingga kini mata kami bertemu. "Kau milikku," Gumamnya. "Sekarang cium aku,"
Aku mencium bibirnya dengan perlahan namun saat aku akan melepaskan ciumannya, ia menahan wajahku. Sehingga kurasa kami berciuman selama dua menit. Wajahnya sangat dekat dengan wajahku hingga hidungnya mengenai hidungku. Jemarinya yang berada di samping wajahku terus mengelus pipiku dengan lembut.
"Aku mencintaimu, Eleanor." Gumamnya perlahan. Aku suka mendengar kalimat itu. Kalimat yang mampu membuat jantungku berdebar kencang setiap kali aku mendengarnya.
"Aku juga mencintaimu, Justin." Gumamku. "Sekarang bisakah aku tidur? Aku sangat kelelahan,"
Ia menjauhkan wajahnya seraya terkekeh pelan. "Tentu,"
KAMU SEDANG MEMBACA
Damaged Love | Justin Bieber
FanfictionJustin Bieber adalah kesalahan terindah dan terbaik yang Eleanor Heather buat dalam hidupnya. Sebuah kesalahan yang Eleanor tidak pernah sesali. Ia tidak tahu apa yang ia lihat dari seorang Justin Bieber; yang ia tahu adalah ia sangat mencintainya.