9

2.6K 204 0
                                    

“Whatever happens, you are my light,”

-----------------------------------------

Aku berusaha untuk bersikap normal. Seolah-olah tidak terjadi apapun namun itu sangat sulit. Aku tak bisa menyembunyikan apapun darinya dan ia tahu itu. Ia menghentikan mobilnya, lalu mematikan mesinnya. Aku membuka pintu mobilnya seraya keluar dari dalam mobil. Ia berdiri disampingku seraya memakai topi dan hoodie hitamnya hingga menutupi kepalanya. Kami berjalan berdampingan menuju klub.

Rasa itu selalu ada setiap kali aku melihatnya dan aku membenci perasaan itu. Kau tahu, rasa bersalah dan penyesalan. Justin belum mengetahuinya, tapi aku tahu, sekarang, esok ataupun lusa, ia pasti akan mengetahuinya dan ia akan sangat membenciku.
Aku tak ingin kehilangannya.

Ia mendekatkan kepalanya pada telingaku untuk membisikkan kalimat yang sangat familiar untukku.

"Kau tahu apa yang harus kau lakukan,"

Aku menahan lengannya saat ia hendak pergi. Aku mengecup bibirnya yang lembut untuk sepersekian detik. Ia memandangku keheranan. Ia mengelus pipiku dengan jemarinya sebelum ia benar-benar pergi meninggalkanku.

"Aku mencintaimu," gumamku. Namun ia tidak mendengarnya.

Aku melakukan apa yang harus kulakukan. Aku menari, menari dan terus menari. Travis belum menghubungiku sejak kejadian kemarin. Aku benar-benar membenci diriku sendiri. Aku tak hanya menyakiti Justin, tapi aku juga menyakiti Sarah.

"Eleanor," Gumam seseorang dari balik punggungku. Aku membalikkan badanku untuk bertemu dengan seorang pria yang tak asing bagiku.

Aku mengernyitkan dahiku seraya menatapnya lekat-lekat. Aku pernah melihatnya, tapi aku tak ingat dimana. "Aku yakin kita pernah bertemu bukan?" Tanyaku.

Ia mengangguk. "Kau lupa denganku?" Aku mengangguk seraya menyembunyikan rasa maluku. "Aku James. Kau ingat?"

"Oh, kau pria yang kutemui di bar beberapa hari yang lalu bukan?"

"Aku senang kau masih mengingatku," Ucapnya. "Kau sendirian? Dimana kekasihmu?"

Aku mengangkat bahuku. "Seperti yang kau lihat, aku sendirian."

"Itu kalimat yang ingin ku dengar," Gumamnya, lalu ia tersenyum. Ia melingkarkan lengannya di pinggangku, membawa tubuhku agar semakin dekat dengannya. Wajahnya sangat dekat denganku hingga hidung kami bersentuhan. "Menari bersamaku?" Tanyanya.

"Tentu," Gumamku dan kami mulai menari. Ia sama seperti Justin. Ia tidak bisa menjaga lengannya. Lengannya sesekali meremas pinggangku atau bahkan bokongku.

"Kau sangat menggoda malam ini," Ucapnya. Aku hanya terkekeh pelan. Ia mengangkat daguku agar aku menatapnya.

Lalu ia mengecup bibirku.

-

Aku duduk diatas pangkuan James sementara ia sedari tadi terus menciumi leherku tanpa henti. Ia menyusupkan lengannya ke balik bajuku, mengelus lembut punggung dan perutku. Ia berhenti menciumi leherku, lalu ia menatapku. Jemarinya mengelus lembut pipiku. 

"Kita akan bersenang-senang malam ini," Gumamnya.

Tentu, kita akan bersenang-senang malam ini. Tapi, mari kita lihat seberapa cepat cairan itu bekerja padamu. Ia kembali memagut bibirku, menciumku dengan penuh nafsu dan sedikit kasar. Ia benar-benar menginginkannya.

Ia menarik bajuku hingga kini aku setengah bertelanjang. Ia kembali menciumi leherku hingga kurasa, ia akan meninggalkan bekas kemerahan disana. Astaga, berapa lama lagi aku harus menunggu agar cairan itu bereaksi?

"James," Nafasku tercekat saat jemarinya mulai menyusup kedalam celanaku. Aku bisa merasakannya menyeringai. "James,"

Aku menghentakkan kepalaku kebelakang, yang justru semakin memberinya banyak ruang untuk menciumi leherku.

"Kau harus menunggu, Eleanor."

Aku tak ingin ini semua terjadi terlalu jauh, jadi aku mendorong tubuhnya hingga kini ia terlentang diatas kasur. Aku memejamkan mataku beberapa saat sebelum kembali membukanya.

"Kau tahu Eleanor, kau sangat me— oh sial,"

Aku tersenyum saat melihatnya memegangi kepalanya. Itu berarti, cairannya mulai bereaksi.

"Ada apa James?"

Ia menggelengkan kepalanya beberapa kali. "Tidak ada apa-apa," Gumamnya, seraya meyakinkanku bahwa ia baik-baik saja tapi aku tahu ia tidak baik-baik saja.

"Apa kau yakin?"

Ia mengangguk. "Ya, aku baik-baik saja. Tidak ad—"

Aku sudah memberitahumu bukan jika ia tidak 'baik-baik saja'? Dengan perlahan aku kembali memakai bajuku dan turun dari pangkuannya. Aku mengambil semua barang berharganya lalu meninggalkannya yang masih tak sadarkan diri. Aku mempercepat jalanku untuk keluar dari klub ini dan menemui Justin.

Aku membuka pintu mobilnya, duduk disampingnya dan memberikannya barang-barang berharga milik James. Ia menyeringai sembari mengambil barang-barang itu dari tanganku.

Suasana didalam mobil terasa sangat aneh kali ini. Tidak ada satupun dari kami yang membuka mulut untuk memulai percakapan atau apapun. Aku kembali menyenderkan dahiku pada kaca jendela mobil.

"Apa semuanya baik-baik saja Eleanor?" Tanyanya. "Kau tahu, kau bertingkah sangat aneh sejak kemarin,"

Ia tahu ada yang tidak beres. Aku menelan ludahku, seraya menghindari untuk menatap matanya. Aku tak ingin perasaan itu menghantuiku lagi.

"Semuanya baik-baik saja," Setidaknya, untuk saat ini.

"Ada yang tidak beres bukan? Beritahu aku," Ucapnya. "Apa si pirang berhasil mempengaruhimu?"

Tidak, Justin. Ini lebih buruk.

"Aku hanya kelelahan," Dan ketakutan jika sampai kau mengetahui semuanya.

"Apa kau sedang berbohong padaku, Eleanor?"

"Tidak,"

"Tatap mataku,"

Aku menoleh untuk menatapnya. Mataku langsung bertemu dengan sepasang mata indah yang setiap kali aku melihatnya, aku selalu merasa nyaman dan damai.

"Apa kau berbohong padaku?" Tanyanya, lagi.

Aku tak bisa menyembunyikan apapun darinya. "Tidak,"

"Kau tahu bukan jika aku tak suka pembohong?" Gumamnya.

Aku mengangguk. "Aku tahu,"

Perasaan itu datang kembali. Aku berbohong padanya. Aku kembali membohonginya untuk yang kesekian kalinya.

"Jika aku melakukan kesalahan, apakah kau akan memaafkanku?" Tanyaku, dari keheningan yang meliputi kami, aku baru sadar bahwa itu pertanyaan yang bodoh.

"Itu semua tergantung dari kesalahan apa yang kau buat," Jawabnya. "Apa kau melakukan sebuah kesalahan, Eleanor?"

Dengan cepat aku menjawab pertanyaannya. "Uh, tidak."

Satu-satunya kesalahan terbesar yang kubuat adalah kau, Justin. Dan kau tahu apa, kau adalah kesalahan terbaik yang pernah ku buat.

Sebuah kesalahan yang tidak akan pernah kusesali.

Damaged Love | Justin BieberTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang