"I let you into my world, then you become it."
-----------------------------------------
Justin tidak ada disampingku.
Setidaknya itu yang kurasakan saat tanganku berusaha untuk memeluknya. Aku mengerjapkan mataku beberapa kali sebelum membukanya dengan sempurna. Ia tidak ada disana. Aku mengedarkan pandanganku ke segala penjuru ruangan kamar sampai mataku berhenti tepat pada pintu balkon yang terbuka.
Aku menyibakkan selimut yang berada di kakiku, lalu beranjak dari kasur.
"Justin?"
Ia berdiri membelakangiku sembari memandang lurus kedepan. Ia menolehkan kepalanya kebelakang.
"Apa yang sedang kau lakukan?" Tanyaku, seraya berdiri disampingnya.
"Aku hanya tidak bisa tidur," Ia menatapku sebentar, lalu kembali memandang lurus kedepan.
Aku mengikuti arah pandangannya. Menatap lurus kedepan, kearah gedung-gedung bertingkat yang berjarak cukup jauh dari sini.
"Disini cukup dingin," Gumamku, setelah kesunyian menyelimuti kami cukup lama. "Kau ingin masuk kedalam?"
Ia tak bergeming. Pandangannya masih menatap lurus kedepan. Aku tidak tahu apa yang sedang ia lihat, atau apa yang sedang ia pikirkan. Tapi ia terlihat sangat serius saat ini. Dan aku tak pernah melihatnya bertingkah seperti ini.
"Baiklah, jika kau tak mau masuk, aku akan masuk." Aku hendak melangkah namun ia menahan lenganku. Aku menatap lengannya yang mencengkram erat lenganku.
"Aku minta maaf, Eleanor."
Aku mengernyitkan dahiku. "Kau tak melakukan kesalahan apapun,"
"Aku membuat hidupmu berantakan," Ucapnya, seraya melepaskan cengkramannya.
Aku meraih wajahnya dengan kedua tanganku. Aku tahu aku sudah mengatakan ini ratusan-atau mungkin ribuan kali-tapi matanya terlihat amat sangat indah saat aku melihatnya dari jarak sedekat ini.
"Kau tidak membuat hidupku berantakan, Justin." Gumamku.
"Ini semua salahku,"
"Apa yang kau bicarakan?" Tanyaku. "Apa kau sedang mabuk?"
"Tidak, Eleanor. Kau tidak mengerti."
"Kau, Justin. Kau tidak mengerti." Aku menurunkan kembali tanganku yang sedari tadi berada di wajahnya. "Kau satu-satunya hal terbaik dalam hidupku." bisikku.
"Eleanor, kau tidak meng- aku apa?"
Aku mengambil napas panjang."Kau satu-satunya hal terbaik dalam hidupku," Ucapku, yang kini terdengar lebih jelas.
Ia mengelus lembut pipiku dengan jemarinya yang kini terasa dingin. "Aku sangat mencintaimu. Kau tahu itu bukan?"
Ia menarik wajahku lalu menempelkan bibirnya dengan bibirku. Aku mengalungkan lenganku di lehernya, aku bisa merasakannya tersenyum diantara ciuman kami. Aku melihat sebuah senyuman lebar di wajahnya saat aku menjauhkan wajahku darinya. Aku menyukai senyumannya.
"Masuklah, aku akan menunjukkan padamu seberapa besar aku mencintaimu,"
Aku menarik kedua lengannya agar mengikutiku masuk kedalam kamar karena udara diluar sangat dingin. Ia menaikkan sebelah alisnya padaku, lalu menyeringai.
"Benarkah? Kau akan menunjukannya padaku?"
Aku mendorong tubuhnya keatas kasur hingga kini ia terlentang.
Aku mengangguk.
Ia merubah posisinya menjadi duduk, sembari menatapku yang berdiri di depannya.
"Tunjukkan padaku," Gumamnya. "Seberapa besar kau mencintaiku?"
Aku membuka bajuku melewati kepalaku lalu melemparkannya keatas lantai.
"Hanya itu?" Gumam Justin.
Aku tertawa perlahan. Aku mendorong tubuhnya sehingga kini aku bisa duduk dipangkuannya. Aku mengecup bibirnya singkat.
"Kau ingin lebih dari itu Justin?" Tanyaku.
Ia memegang pinggangku dengan kedua tangannya, lalu mengangguk.
"Seberapa besar kau menginginkannya?" Tanyaku, sembari menekan daerah miliknya.
Ia memejamkan matanya."Ah, sial, Eleanor." Gumamnya, lalu ia kembali membuka matanya.
Aku turun dari pangkuannya sejenak hanya untuk membuka celanaku lalu kembali naik ke pangkuannya. Kini aku hanya memakai pakaian dalamku. Aku menempatkan kedua lenganku disamping kepalanya, persis seperti apa yang ia lakukan beberapa hari yang lalu.
"Aku menginginkanmu sekarang," Gumamnya. "Berhenti bermain-main denganku Eleanor,"
Aku terkekeh pelan, lalu ia memegang kedua bokongku sembari meremasnya.
"Aku tidak bermain-main denganmu," Ucapku.
Tangannya kembali berada di pinggangku, lalu ia memutar tubuhku sehingga kini ia berada diatasku. Wajah tampannya kembali menyeringai.
"Aku kehilangan kesabaranku," Ucapnya.
Ia mulai menciumi leherku, dan dengan spontan jemariku meremas rambutnya yang terasa amat lembut. Tangannya terus mengusap-usap pahaku. Ciumannya terus turun menuju dada dan berhenti pada perutku.
"Aku tak suka bermain-main," Gumamnya, sembari menarik lepas bajunya. "Dan kau tahu itu," Ia melepaskan pengait braku.
Ia melepaskan celanaku dengan perlahan. Matanya terus menatapku dan itu sangat mengintimidasiku. "Jangan pernah bermain-main denganku," Gumamnya, lalu ia melepaskan celananya.
Ia membuka kedua kakiku cukup lebar lalu mulai menciumi sepanjang kakiku, dan terus naik menuju pangkal pahaku.
"Justin," Erangku.
Ia benar-benar membuatku gila hanya dengan sentuhan dan ciumannya. Aku menutup kedua mataku.
"Ah, Justin." Aku menghentakkan kepalaku kebelakang saat merasakan jemarinya memasukkiku.
"Kau menginginkanku," Ucapnya, sembari mengeluarkan jemarinya lalu memasukkannya lagi.
"Ah, sial, Justin." Aku terdengar sangat putus asa dan sangat menginginkannya. Dan keduanya memang sangat tepat.
Aku tidak akan pernah menggodanya seperti itu lagi.
Ia mengeluarkan jemarinya dariku, lalu ia naik keatas kasur sehingga kini ia berada diantara kedua kakiku. Ia mulai memasukkan miliknya. Aku menggigit bibir dalamku kuat-kuat. Ia mulai menggerakan tubuhnya dan aku tak bisa menahannya lagi.
Aku mencengkram apapun yang berada disekelilingku. "Ah, Justin."
"Buka matamu dan tatap aku," Gumamnya. Aku membuka kedua mataku. "Milikku," Ucapnya sembari menekan kata itu.
Dengan susah payah aku membuka mulutku. "Milikmu,"
KAMU SEDANG MEMBACA
Damaged Love | Justin Bieber
FanficJustin Bieber adalah kesalahan terindah dan terbaik yang Eleanor Heather buat dalam hidupnya. Sebuah kesalahan yang Eleanor tidak pernah sesali. Ia tidak tahu apa yang ia lihat dari seorang Justin Bieber; yang ia tahu adalah ia sangat mencintainya.