"I call him 'a-z' because it all ends and begins with him."
-----------------------------------------
Aku membuka pintu kamarku, lalu menekan saklar yang berada tepat di samping pintu kamarku sehingga kini ruangannya menjadi terang. Aku menutup pintunya dengan perlahan, seraya menyenderkan dahiku. Aku menghela napas panjang. Hari ini sangat melelahkan.
"Kau kelelahan, Eleanor?"
Aku sedikit terperanjat begitu mendengar suara seseorang. Aku membalikkan badanku dengan perlahan, dan disanalah ia. Tengah berbaring diatas kasurku.
"Justin?"
Aku berjalan menghampirinya sembari melipat tanganku di depan dada. "Sejak kapan kau ada sini?"
"Sejak kamarmu masih gelap," Gumamnya.
Ia membuka kaus yang menutupi badannya lalu melemparnya ke lantai sehingga kini ia bertelanjang dada. Hal yang selalu ia lakukan ketika ia akan tidur.
"Kemarilah," Ia menempuk sisi kasur yang kosong dengan telapak tangannya.
Dengan perlahan aku merangkak naik keatas kasur lalu berbaring di sampingnya.
"Jadi ini hobi barumu? Menyusup kedalam kamarku pada malam hari?" Tanyaku.
"Aku tidak menyusup," Ucapnya. "Bukankah aku sudah memberitahumu jika aku menunggumu di kamar?"
Aku memutar bola mataku sementara ia hanya tertawa. Aku semakin mendekatkan tubuhku padanya. Aku menempatkan kepalaku di dadanya-hal yang selalu kulakukan-sementara tanganku memeluk pinggangnya.
"Aku ingin kita kembali ke Los Angeles," Ucapnya.
Aku tidak tahu apakah aku ingin kembali lagi kesana, ke Los Angeles, ke rumah itu. Maksudku, rumah itu menyimpan banyak kenangan. Terlalu banyak kenangan.
Aku dan Justin bertengkar hebat di rumah itu. Justin membawa wanita lain ke rumah itu. Justin mencium wanita lain di rumah itu. Rumah itu salah satu alasan mengapa aku berada disini, di Seattle. Apa aku ingin kembali ke rumah itu? Aku tidak tahu.
"Kita akan memulai semuanya dari awal," Ucap Justin yang menyadarkanku dari lamunanku.
"Aku tidak tahu. Maksudku, rumah itu menyimpan banyak kenangan yang tidak ingin ku ingat kembali,"
Justin mengelus punggung tanganku yang sedari tadi berada di perutnya dengan ibu jarinya lembut.
"Aku mengerti, Eleanor. Tapi kita tidak bisa berada disini terus menerus."
Ia menyatukan jemarinya dengan jemariku sehingga kini jemari kami saling bertautan. Aku tersenyum seraya memandangi bagaimana tangannya menggenggam tanganku erat.
"Aku tidak tahu," Gumamku. "Semuanya terlalu rumit,"
"Eleanor, dengar." Ia mengangkat daguku sehingga kini aku menatap kedua matanya. "Aku mencintaimu dan kau tahu aku tidak ingin jauh darimu. Aku ingin semuanya seperti semula. Aku dan kau berada dalam satu rumah yang sama,"
Aku memandang kedua matanya bergantian. Ia mengecup bibirku selama beberapa detik.
"Semuanya akan baik-baik saja," Gumamnya. "Kita akan baik-baik saja,"
Tentu saja aku ingin semuanya kembali seperti semula. Aku ingin kembali tinggal bersamanya, dalam satu rumah yang sama. Aku ingin ketika aku bangun di pagi hari, yang pertama kali kulihat adalah wajahnya.
"Aku akan ikut bersamamu," Gumamku. "Kita akan kembali ke Los Angeles,"
"Itu bagus karena aku sudah membeli dua tiket untuk kita besok,"
Aku mengangkat kepalaku yang sedari tadi berada di dadanya sembari memberinya tatapan apa-kau-serius.
"Ada apa?" Tanyanya. "Kukira semakin cepat kita pergi ke Los Angeles akan semakin baik?"
"Aku tahu, tapi tidakkah itu terburu-buru?" Gumamku. "Aku harus memberitahu ibu dan ayahku,"
"Kau bisa berpamitan dengan mereka esok,"
Dengan perlahan aku kembali menempatkan kepalaku di dadanya.
"Aku akan merindukan mereka semua,"
Justin mencium puncak kepalaku, sementara tangannya meremas tanganku dengan lembut.
"Tidurlah, esok akan sangat melelahkan."
-
Aku tidak tahu apa yang harus ku katakan pada ibuku. Justin akan datang kesini dalam waktu 20 menit lagi, sementara aku disini tidak tahu harus berkata apa pada ibuku.
Aku menuruni anak tangga satu per satu, lalu pergi menuju ruang tengah untuk menemuinya. Aku mengambil napas panjang, lalu menghembuskannya secara perlahan melalui mulutku.
"Hai mom," Ucapku seraya duduk disampingnya.
"Hai Eleanor,"
"Aku ingin mengatakan sesuatu padamu," Gumamku sembari memainkan jemariku.
"Apa itu?"
"Aku akan pergi ke Los Angeles," Ucapku. "Dengan Justin,"
"Kalian sudah membicarakan semuanya?"
"Ya," Gumamku. "Itu sebabnya mengapa aku dan ia akan kembali ke Los Angeles. Kau tahu, memulai kembali semuanya."
"Itu bagus,"
Aku mendongakkan kepalaku untuk menatap wajahnya. Aku akan merindukanmu, Mom.
"Aku akan pergi hari ini,"
Ia terdiam sejenak. Aku tidak tahu apakah ia terkejut atau marah atau apapun itu. Ekspresi wajahnya tidak mengatakan apapun padaku.
"Hari ini?" Gumamnya. "Mengapa sangat terburu-buru?"
"Justin pikir lebih cepat lebih baik,"
"Tapi bagaimana dengan ayahmu dan Matt?" Tanyanya. "Kau tidak akan berpamitan pada mereka?"
"Aku akan menghubungi mereka nanti," Aku menggenggam tangannya sembari menatap kedua mata coklat miliknya. "Aku akan merindukanmu,"
Matanya terlihat berkaca-kaca. Ia membawaku kedalam pelukannya. Ia memelukku erat sembari mengusap-usap punggungku.
"Aku juga akan merindukanmu," Bisiknya. "Kau bisa datang kemari jika kau merindukanku, ayahmu atau Matt."
Ia melepaskan pelukannya.
"Kau sudah dewasa, kau tahu apa yang kau inginkan dan apa yang harus kau lakukan."
Aku menginginkannya, Mom. Aku menginginkan Justin. Lebih dari apapun. Aku senang ia bisa mengerti diriku.
Bel berbunyi dengan nyaring membuatku bangkit dari tempat dudukku.
"Itu Justin," Gumamku.
Aku berjalan menuju pintu depan yang di iringi oleh ibuku yang berada disampingku. Aku membuka pintunya dan langsung disambut oleh senyuman hangatnya.
Ia tersenyum pada ibuku. "Selamat pagi Mrs. Heather," Gumamnya, lalu ia menatapku. "Kau sudah siap?"
Aku mengangguk. Aku memeluk ibuku untuk terkahir kalinya sebelum aku pergi. "Jaga dirimu baik-baik," Bisiknya.
Aku melepaskan pelukanku seraya melambaikan tanganku padanya. Justin menggenggam tanganku, sembari menuntunku menuju mobilnya. Aku membuka pintu mobilnya, lalu duduk disebelahnya. Justin mulai menjalankan mobilnya. Aku menatap rumahku yang semakin menjauh dari pandanganku.
Justin menggenggam tanganku sembari membawanya keatas pangkuannya. Ia meremasnya perlahan.
"Ada aku,"
KAMU SEDANG MEMBACA
Damaged Love | Justin Bieber
Fiksi PenggemarJustin Bieber adalah kesalahan terindah dan terbaik yang Eleanor Heather buat dalam hidupnya. Sebuah kesalahan yang Eleanor tidak pernah sesali. Ia tidak tahu apa yang ia lihat dari seorang Justin Bieber; yang ia tahu adalah ia sangat mencintainya.