"And I'd choose you; in a hundred lifetimes, in a hundred worlds, in any version of reality, I'd find you and I'd choose you."
-----------------------------------------
Aku memandang para wanita yang sedari tadi berjalan melewati meja kami, yang sepertinya terus menatap Justin. Kurasa mereka bahkan tidak berkedip selama menatapnya dan kau tahu, aku ingin sekali mencongkel mata mereka. Maksudku, Justin milikku.
Aku kembali meminum-minumanku sambil sesekali melirik Justin yang masih tengah sibuk membicarakan sesuatu dengan Joe. Aku tidak tahu apa yang mereka bicarakan, namun sepertinya itu sangat menarik karena Justin sedari tadi terus mengabaikanku.
Aku beranjak dari kursiku. "Aku harus ke kamar mandi," Gumamku. Justin tidak mengatakan apa-apa, ia hanya mengangguk lalu kembali mengobrol dengan Joe. Lalu aku pergi ke kamar mandi.
Aku menatap cermin besar yang berada di depanku sambil sesekali merapikan penampilanku. Aku terdiam sejenak, mengambil nafas panjang lalu aku memutuskan untuk keluar dari kamar mandi. Kurasa aku tidak sampai sepuluh menit di kamar mandi tapi lihatlah, kini Justin tengah mengobrol dengan dua orang wanita sekaligus.
"Kau menempati kursiku," Gumamku pada kedua wanita itu. Salah satu dari wanita itu-wanita berambut pirang-menatapku dari bawah keatas lalu memutar matanya. Aku benar-benar akan mencongkel matanya keluar jika ia terus memutar matanya padaku seperti itu.
"Siapa ia?" Tanya si wanita berambut coklat. Justin menatapku, lalu menyeringai. "Apa ia temanmu?"
"Ya," Gumam Justin. "Ia temanku,"
Oh, aku ini temannya? Aku memberinya tatapan apa-kau-serius namun ia hanya mengangkat kedua bahunya.
"Oh, tentu saja aku ini temannya," Ucapku. "Dan kalian tahu apa? Kalian bisa melakukan apapun dengannya,"
Aku mengangkat lenganku diudara lalu pergi menjauh dari mereka. Aku memilih untuk duduk di depan meja bartender. "Bisajah aku meminta segelas wine?" Tanyaku pada pria di depanku. Ia mengangguk dan tak berapa lama memberikanku minumanku.
Aku menegguk semuanya sampai habis. "Bisakah kau mengisinya lagi?"
"Tentu saja,"
Aku kembali menegguknya, membiarkan cairan itu masuk melewati kerongkonganku.
"Wine tidak akan menyelesaikan masalahmu," Gumam seseorang.
Aku menoleh kesamping untuk menatap seorang pria yang kini tengah duduk di sampingku. Aku tertawa perlahan sambil mengusap-usap gelasku yang kini sudah kosong.
"Wine tidak bisa menyelesaikan masalahku," Gumamku. "Tapi setidaknya, wine bisa membantuku melupakan masalahku,"
Pria itu tertawa. "Itu kata-kata terbijak yang pernah kudengar," Ia terdiam sejenak. "Bisakah aku meminta segelas anggur?" Gumamnya pada pria di depan kami.
Sesekali aku menatap kearah meja Justin. Dan ketika aku melihatnya, ia sudah menatapku. Tatapannya sangat tajam. Bahkan dari sinipun, aku bisa melihat rahangnya yang mengeras. Ia selalu melakukan itu ketika ia marah.
"Jadi, kau sendirian?"
Aku mengangguk. "Ya. Kau ingin menemaniku?"
"Tentu saja. Dengan senang hati," Sudut bibirnya terangkat keatas sehingga membentuk sebuah senyuman. "Aku James,"
Aku mencondongkan tubuhku kedepan untuk berbisik di telinganya. "Aku Eleanor,"
Mataku tidak pernah lepas dari Justin. Ia masih tetap memandangiku. Jika ia bisa bermain-main dengan wanita lain, mengapa aku tidak bisa bermain-main dengan pria lain? Aku kembali menjauhkan tubuhku.
Dari sudut mataku, aku bisa melihat Justin yang kini tengah berjalan kearahku namun aku tidak memperdulikannya. Sepertinya Justin mulai kehilangan kesabarannya.
"Jadi, apa kau ing-"
"Kita harus pulang sekarang,"
James menatap Justin, lalu menatapku. "Siapa ia?" Tanyanya.
Aku menatap Justin lalu menyeringai. "Ia temanku," Gumamku. "Bukankah begitu, Justin?"
Tangan Justin mengepal sempurna dan itu tandanya ia benar-benar kesal. "Kita akan pulang sekarang," Gumamnya.
"Bagaimana jika aku tidak mau?"
"Aku akan memaksamu," Ia mencengkram pergelangan tanganku. "Kau tidak ingin membuatku marah bukan, Eleanor?"
-
Aku langsung menjatuhkan tubuhku diatas sofa sesampainya kami di rumah. Aku merasa sangat kelelahan malam ini. Selama perjalanan pulang, baik aku maupun Justin tidak mengatakan apapun. Aku terlalu takut untuk membuka mulutku. Aku bahkan tidak berani untuk menatap matanya saat ia sedang kesal ataupun marah.
"Kita harus bicara," Gumam Justin. Aku masih diam tak bergeming sampai ia mulai menaikan suaranya. "Sekarang, Eleanor!"
Aku mengikutinya dari belakang untuk menaiki anak tangga. Kami berhenti tepat di depan pintu putih. Ia membukanya dan menahannya, membiarkanku untuk masuk. Dengan perlahan aku melangkahkan kakiku kedalam lalu duduk diatas kasur.
Ia menutup kembali pintunya rapat lalu menguncinya. Ia berbalik, lalu menatapku dan memberikanku isyarat untuk mendekatinya.
"Kau tahu jika tidak boleh ada yang menyentuh apa yang menjadi milikku?" Tanyanya, tepat setelah aku berdiri di depannya.
Tentu saja aku tahu.
"Aku tahu,"
"Lalu mengapa kau membiarkan pria tadi menyentuhmu?"
"Kau membiarkan wanita-wanita tadi menyentuhmu. Jadi, mengapa pria lain tak boleh menyentuhku?"
"Apa kau cemburu, Eleanor?"
"Aku tak mengatakannya,"
"Tapi kau menunjukannya,"
"Dengar, aku tid-"
Ia langsung menempelkan bibirnya dengan bibirku. Mengapa ia selalu melakukannya di saat aku tengah berbicara? Ia meraup wajahku sembari memperdalam ciumannya. Dengan perlahan ia mendorong tubuhku kebelakang lalu mendudukanku diatas kasur.
"Kau harus mendapatkan hukuman," Gumamnya setelah melepaskan ciumannya. Aku mengernyitkan dahiku.
"Aku tidak melakukan apapun,"
Ia menarik kausnya keatas dan melemparnya kesamping sehingga kini ia bertelanjang dada. Aku menelan ludahku dengan susah payah.
"Berbaring," Ucapnya, yang terdengar seperti perintah.
Aku membaringkan tubuhku sambil menunggu apa yang ia akan lakukan padaku. Ia mulai naik diatas tubuhku. Ia menatap kedua mataku dalam. Jemarinya terus mengelus-elus bagian bawah bibirku.
"Tidak boleh ada yang menyentuhmu selain aku," Gumamnya. "Sekarang buka bajumu,"
"Apa?"
"Kau mendengarku dengan jelas, bukan?"
Aku membuka bajuku, seperti apa yang ia perintahkan. Ia langsung menciumi leherku dan ciumannya terus turun ke dadaku dan berakhir di perutku. Jemarinya mulai membuka rel seleting celanaku dan dengan sekali tarikan, celana itu telah lepas. Ia mulai menciumi kakiku. Ciumannya terus naik menuju pahaku dan itu memberikan getaran aneh di pangkal pahaku.
Aku berusaha menahan eranganku namun itu terlontar begitu saja tanpa bisa kutahan. "Justin,"
"Aku tahu Eleanor," Ia membuka pengait braku. "Kau sangat menginginkannya bukan?"
Aku mengangguk.
"Buka matamu dan beritahu aku apa yang kau inginkan," Gumamnya. Aku membuka mataku untuk melihatnya yang kini hanya memakai boxernya.
"Aku menginginkanmu,"
Ia tersenyum lalu menarik lepas celanaku. "Aku tahu,"
KAMU SEDANG MEMBACA
Damaged Love | Justin Bieber
FanficJustin Bieber adalah kesalahan terindah dan terbaik yang Eleanor Heather buat dalam hidupnya. Sebuah kesalahan yang Eleanor tidak pernah sesali. Ia tidak tahu apa yang ia lihat dari seorang Justin Bieber; yang ia tahu adalah ia sangat mencintainya.