21

2.9K 200 3
                                    

"My parents warned me about drugs sold on the street but never the ones with brown eyes and a heartbeat."

-----------------------------------------

"Aku mempunyai kejutan untukmu,"

Mataku yang sedari tadi terpaku pada layar handphoneku kini menatap Justin yang berdiri tepat di belakang tubuhku.

"Kejutan apa itu?" Tanyaku. Ia tersenyum, lalu memutari sofa dan duduk disampingku.

"Kau akan mengetahuinya nanti," Gumamnya.

"Aku tidak menyukai kejutan," Gumamku.

Ia mengangguk. "Aku tahu,"

"Lalu mengapa kau tidak memberitahuku langsung?"

"Kau akan menyukai kejutan yang satu ini,"

Aku memandang wajahnya beberapa saat, lalu menghela napasku seraya menyenderkan badanku kebelakang. Aku kembali memainkan handphoneku.

"Aku mempunyai beberapa koleksi film horror terbaru,"

"Aku tak menyukai film horror, Justin."

Justin lalu beranjak dari kursi. Ia berjalan menuju pemutar film. Ia memasukkan sebuah kaset-yang aku sendiri pun tidak tahu apa-kedalamnya dan menekan tombol 'play'. Ia berbalik, menatapku dengan seringai di wajahnya.

"Ada aku," Ucapnya, setelah ia kembali menjatuhkan bokongnya tepat disampingku. "Kau bisa memelukku jika kau ketakutan,"

Aku menyimpan kembali handphoneku pada meja di depanku. "Oh, jadi itu sebabnya mengapa kau memaksaku untuk menonton film horror bersamamu?" Tanyaku.

Ia tersenyum lebar seraya mengangkat kedua bahunya dan filmnya mulai berputar.

Aku tak pernah menyukai film horror. Sial.

Aku semakin membawa tubuhku mendekati tubuhnya. Aku bisa merasakan pandangannya yang terus menatapku, namun aku tak peduli. Layar televisi mulai menunjukkan sebuah rumah tua, yang terlihat amat menyeramkan-sejenis rumah yang tidak pernah ingin kutinggali-dan sebuah keluarga kecil yang terlihat amat bahagia.

Ini baru awal.

Aku bisa menonton film apa saja, tapi tidak dengan horror.

"John?" Si wanita itu mulai menuruni anak tangga dengan perlahan untuk mencari suaminya. Ia masih mengenakan baju tidur miliknya. "John, itu tidak lucu." Gumamnya lagi. Semuanya gelap. Layarnya gelap. Aku bahkan tidak bisa melihat wajah si wanita itu.

"Oh, Justin! Sial." Aku mencengkram bajunya erat, seraya membenamkan wajahku pada lehernya saat sesuatu-atau mungkin seseorang-muncul secara tiba-tiba di layar televisi.

Ia mengelus-elus punggungku lembut sembari terkekeh pelan.

"Aku tidak mau menonton film ini," Ucapku.

"Tapi film ini menyenangkan," Gumamnya. "Kau harus melihatnya,"

"Aku tidak menyukai film horror, dan kau tahu itu." Gumamku, masih dalam posisi yang sama. "Dan mengapa kau tiba-tiba mengajakku menonton film bersamamu?"

Aku tidak ingat kapan terkahir kali aku dan ia menonton film bersama. Itu sudah sangat lama sekali.

"Aku hanya ingin menghabiskan hariku bersamamu,"

Dengan perlahan aku menarik diriku dari dirinya. "Tapi, tidak dengan menonton film horror." Gumamku perlahan.

Ia kembali tertawa sembari menyibakkan helaian rambut yang menghalangi wajahku.

Damaged Love | Justin BieberTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang