Sedikit gontai aku melangkah. Menutup pintu mobil dengan kasar. Mengikuti papi dan mami masih dengan wajah ditekuk dan mulut mengembung. Berkali-kali aku menggerutu minta pulang saja. Percuma! Tidak satupun yang menggubris. Malahan yang terlihat hanya mata papi yang mendelik tajam, menyuruhku diam dan tidak banyak berkomentar. Jika sudah seperti itu, apa yang bisa aku lakukan selain pasrah?
Sebuah gerbang besi tampak gagah menjulang di depan kami. Aku jadi semakin ciut melihatnya. Membaca dalam hati tulisan yang tertera pada seng melengkung di atasnya "Pesantren Al-Ilmu". Mendengus panjang. Benarkah nasibku akan berlanjut di sini? Ya Tuhan.
Dengan berat hati aku mulai melangkah lagi. Terus membuntuti papi dan mami yang berjalan pelan melewati pintu gerbang. Aku juga sebal dengan gatal-gatal di tubuhku. Aku tidak terbiasa dengan kostum baruku yang aneh ini. Baju lengan panjang dengan rok sepanjang mata kaki ini benar-benar membuatku tidak nyaman. Belum lagi kain penutup kepala yang kaku ini. Aduh. Mama mungkin sudah terbiasa memakai kerudung seperti ini. Tapi aku jelas tidak terbiasa memakai ini sebelumnya. Tanganku tak berhenti menggaruk kepala, punggung, kaki, leher. Rasa gerah dan gatal mulai menjalar.
Kakiku terus melangkah. Sangat berat. Menyusuri gedung-gedung yang tampak sepi. Banyak sekali tulisan-tulisan yang berisi slogan dan peraturan tertempel di dinding-dinding bangunan. Sebuah tulisan terbuat dari triplek dengan cat biru tergantung dengan sebuah tulisan putih di atasnya "kawasan berjilbab".
Sepi. Tidak ada satupun yang terlihat. Kecuali dua gadis berkerudung penunjuk itu dan teman satunya yang masih di ruang tamu. Langkah kami terhenti pada sebuah rumah bercat hijau yang cukup megah. Rumah berlantai dua dengan arsitektur yang sederhana tampak cukup memukau di tengah-tengah beberapa bangunan sederhana di kawasan asrama putri ini.
Seorang gadis berkerudung mempersilahkan. Lagi-lagi dia menunduk-nunduk seperti orang Jepang saat memberi salam. Lalu kembali ke tempat semula aku menemuinya. Selesai sudah tugasnya.
Aku berdiri mematung di sebelah mami. Telunjuk papi bergerak. Menekan bel. Semenit berlalu. Belum ada jawaban dari dalam. Papi menekan tombol itu sekali lagi. Mami mendekat. Membenahi rambutku yang mengintip dari sela-sela jilbab. Aku mendengus. Rumah itu masih tampak sepi.
Sekali lagi papa menekan bel. Kali ini diiringi dengan ucapan salam. Guratan campuran Belanda dan Jawa di wajah papi tampak sedikit resah. Mungkin karena tak sabar ingin segera bertemu dengan sang pemilik rumah. Dan juga tidak sabar untuk meninggalkanku di tempat ini. duh..
"Wa'alaikum salam" samar-samar terdengar suara seorang perempuan dari dalam rumah. Wajah papi tampak cerah. Tapi aku, sebalikannya.
Beberapa detik kemudian pintu terbuka sedikit. Sosok wanita setengah baya berjilbab muncul dari balik pintu. Wajahnya terlihat sangat teduh. Bibirnya memberi kami sesungging senyum.
"Silahkan duduk. Sebentar ya, saya panggilkan Bapak dulu." Tuturnya mempersilahkan kami masuk. Bahasa Indonesianya terdengar sangat medok namun sangat lembut. Papi mengangguk-angguk sangat sopan. Bahkan aku saja tidak pernah melihat papi bertingkah sesopan itu.
Aku duduk tepat di atas kursi kayu yang terletak di teras rumah. Tepat di depanku ada sebuah taman kecil dengan beberapa tanaman bunga dan juga sebuah air mancur di tengahnya. Ternyata tempat ini tidak seseram yang aku bayangkan. Jika dibandingkan dengan penjara. Ini jauh lebih baik.
Aku melirik papi dan mami yang masih berdiri mematung. Rasanya aku tidak perlu ikut masuk ke dalam. Toh ini urusan papi dan mami yang entah kenapa aku menjadi tokoh utama di dalamnya.
Benar saja,belum sempat aku menikmati suasana luar yang sejuk, mami sudah menyusul dan berdiri tegap di sampingku. Mami menarik tanganku, aku sempat menolak. Namun secara tidak langsung tatapan mata mami yang paling aku benci, memaksaku untuk menurutinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Close to You
Teen FictionFlora mendapat hukuman berat setelah berkali-kali ia membuat Papi geram. Hukuman terberat dalam hidupnya itu adalah ketika Papi memutuskan untuk membawanya ke sebuah pesantren. Penyesalan dan rasa takut sempat menggelayuti fikiran anak tunggal yang...