Semua bermula dari dua bulan lalu, saat bisnis tas dengan brand sendiri milik orangtua Lana merugi hingga nyaris bangkrut. Bukan karena tak ada minat dari pasar namun justru kebalikannya. Saking banyaknya minat sehingga produksi besar-besaranpun terjadi yang memakan biaya produksi yang sangat tak sedikit. Masalah kemudian datang dari bagian distribusi. Dimana alat distribusi yang digunakan adalah kapal dengan puluhan kargo barang jadi tersebut terbakar lalu tenggelam.
Lana turut berduka cita untuk semua yang yang merugi bahkan kehilangan, namun dia juga tetap merasa hidup ini tak adil. Semua barang jadi tersebut terbakar, hanyut dan tenggelam entah kemana. Yang berarti takkan ada keuntungan yang akan datang dimana cost yang dikeluarkan 'nyaris' hampir seluruh keuntungan yang selama ini dikumpulkan perusahaan tas milik papanya itu.
Klaim asuransi pun tak mencukupi untuk memulai kembali seluruh pesanan yang nyaris overload karena harus membayar ganti rugi kontrak dengan para pihak reseller, sisanya hanya cukup untuk menggaji para karyawan. Dan tentu saja tak mungkin lagi meminta pinjaman dari bank karena untuk produksi tersebut mereka telah menggunakan pinjaman dengan limit teratas dari bank. Dengan kata lain, usaha keluarganya itu nyaris bangkrut. Yang terbayang di depan mata Lana hanyalah bahwa hidupnya nanti akan lebih menyulitkan dari yang dapat dan pernah dibayangkannya.
Hingga Pak Raihan, papa Lana, pulang suatu malam dan mengajak keluarganya untuk berunding bersama. Lana yang merupakan putri tunggal keluarga Raihan Hermawan, hanya dapat menduga-duga kapan mereka semua akan pindah atau mungkin terusir dari rumah mereka yang nyaman ini.
"Lana, papa minta maaf kalau memutuskan beberapa hal tanpa persetujuanmu terlebih dahulu." Pak Raihan memulai pembicaraannya setelah berdiam diri beberapa saat.
"Lana ngerti kok Pa. Papa kan kepala keluarga kita, jadi memang semestinya papa ada hak untuk menentukan apa yang akan nantinya kita jalani kedepan." Lana berbicara dengan tercekat, membayangkan sesusah apa hidupnya nanti.
"Jadi kapan kita akan resmi menutup usaha pembuatan tas kita, Pa?" Tanya Lana lebih lanjut, penasaran dan menguatkan hati.
"Lha? Memangnya kita mau ganti usaha ya, Ma?" Tanya Papanya bingung kearah sang Mama yang sejak tadi hanya berdiam diri.
"Duh, Papa ini. Kan kita sudah mau bangkrut. Itu kan tujuan Papa mau berunding sama Lana dan mama." Lana mengambil alih dengan tidak sabar.
"Justru Karena kita tidak jadi bangkrut makanya Papa mau bicara ke kalian berdua." Pak Raihan berbicara sambil tersenyum puas.
"Kita, tak jadi bangkrut?" Tanya Lana sambil memandang bergantian kearah papanya yang tersenyum puas dan mamanya yang ikut senyum mendukung kearahnya. "Lana gak ngerti Pa, Ma. Bagaimana bisa kita tidak jadi bangkrut?" Tanda tanya semakin besar didalam kepala Lana, seakan mau meledak keluar.
"Kamu tidak senang kalau kita tidak jadi bangkrut?" Tanya Pak Raihan saat menelaah ekspresi putri semata wayangnya itu.
"Bukannya tidak senang Pa, tapi Lana hanya tidak mengerti kenapa kita tidak jadi bangkrut?" Lana berpikir dengan dahi berkerut. Pinjaman pada bank tidak akan berhasil, Lana sudah tahu itu. Lalu bagaimana bisa usaha mereka selamat?
Pak Raihan tampak lega setelah tahu putrinya itu hanya sedang dalam proses 'penyerapan informasi'. Kemudian sang mama angkat bicara.
"Lana sayang,"
"Iya, Mama sayang,"
"Jangan ngomong balik kalau orangtua bicara." Pikiran mamanya teralihkan.
"Kan Mama yang manggil Lana sayang, otomatis aku jawab Iya Mama sayang."
KAMU SEDANG MEMBACA
It's a Life Disaster!
ChickLitAlananda Mitha Hermawan, hidup bahagia dan santai saja selama ini. Namun kejadian nyaris bangkrut, nyaris dijuluki perawan tua dan nyaris menjadi anak durhaka membuat Lana memutuskan tidak membutuhkan kata 'nyaris' lain dalam hidupnya. Sampai tiba...