14. Serasa

25.3K 848 72
                                    

Hai, Saya kembali.
Minal Aidzin WalFaidzin ya.

Maaf bila ada typo, kesalahan bahasa, dsb. Saya hanyalah manusia biasa yang tak luput dari salah, Hahaha.

Yuk, langsung saja ke ceritanya.

~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~

"Sayang..."

Suara itu menembus alam bawah sadar Lana. Kecupan-kecupan kecil memenuhi wajahnya. Dibukanya matanya dan mendapati mata Tirtan yang tengah menatapnya intens.

Dalam sadarnya yang hanya setengah itu dapat dirasakannya tangan Tirtan yang bergerak mengangkat gaun tidur yang dikenakannya hingga perut. Tangan itu kini melepas satu-satunya bahan kain penghalang penyatuan mereka.

Dalam dingin dan remangnya pagi, mereka bergerak bersama menciptakan irama pelan dan santai, menikmati rasa dan intensitas yang tercipta, hingga hanya rasa yang tak terdefinisi memecah benak menjadi ribuan keping cahaya, membutakan mata, menumpulkan logika.

***

Lana berjalan memasuki kafe tersebut. Dipilihnya meja sudut dimana ia dapat berbicara dengan sedikit lebih leluasa. Suasana senja membuat kafe tersebut lengang oleh pengunjung. Lana tak tahu mengapa ia mengiyakan ajakan Enggar untuk bertemu, yang jelas keinginan hatinya saat ini adalah ingin bertemu dengan Enggar.

Lana belum mengatakan pada Tirtan tentang rencana pertemuannya dengan Enggar. Melihat reaksi Tirtan saat membahas Enggar dahulu sebelum mereka menikah membuatnya bergidik. Sebisa mungkin ingin dihindarinya pembicaraan mengenai Enggar dengan Tirtan.

Setelah menunggu beberapa saat, akhirnya sosok itu datang juga, sosok yang ternyata lumayan dirindukannya. Enggar tampak agak kurusan, mungkin itu karena tekanan batin yang dialaminya akibat perceraiannya dengan Nita.

Enggar menemukannya dan berjalan menuju meja di sudut itu. Lana berdiri menyambutnya dan begitu Enggar sampai ia segera merentangkan tangan dan memeluk Lana, erat.

"Maaf, terlambat."

"Nggak papa, Gar." Gumam Lana sambil tersenyum menenangkan. "Ayo duduk."

Enggar meraih dan menggenggam tangan Lana setelah mereka duduk berhadapan. Memberikan senyum kepada Lana walaupun senyumnya tak selebar biasanya, mengingat masalah yang sedang menggelayuti saat ini.

"Kamu tampaknya semakin cantik habis nikah." Enggar tampak tersenyum sambil menatap wajah Lana.

"Biasa aja, kok." Lana tersipu sambil menepuk pelan tangan Enggar yang sedang menggenggam jemarinya.

"Maaf tak bisa datang diresepsimu kemarin, aku tak bisa datang karena sedang berada diluar negeri membawa lukisanku untuk dipajang di pameran."

"It's okay, Gar. Santai aja." Lana menerima permintaan maaf itu.

"Kamu baik-baik saja?" Lana menanyakan pertanyaan itu, setelah diselingi dengan suasana yang tiba-tiba memberat dengan diamnya Enggar.

Enggar memberikan tatapan kalutnya. "Tidak."

"Kenapa kalian berpisah secepat ini? Ini baru bulan keberapa kalian menikah? Belum ada setahun kan?" Lana tak habis pikir.

"Semua salahku," Enggar menarik nafas frutrasi. "Dan Nita berat memaafkanku."

"Jadi Nita yang menuntut perceraian ini?" Lana menatap Enggar yang tampak mengangguk terpaksa.

"Apa kesalahanmu, Gar?" Pertanyaan itu akhirnya terlontarkan juga, setelah jeda lagi yang lumayan lama oleh diamnya Enggar.

It's a Life Disaster!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang