19. Maaf

19K 905 127
                                    

Ternyata masih ada juga yang tertarik dengan cerita ini ya?
Bukannya saya tidak mau mempublish cerita ini, tapi karena filenya sudah hilang dari laptop lah yg membuat saya tak dapat mempublish lagi lanjutan cerita ini.

Setelah mengubek-ubek laptop saya yang satunya lagi (yang sudah dipensiunkan dari tugasnya), akhirnya bisa saya dapatkan kembali file-file cerita ini.

Tapi....

Filenya masih dalam bentuk ketikan pertamanya, alias no editing sama sekali. Jadi harap maklum, kalau mungkin ada yang dirasa janggal.

~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~

Mentari mulai beranjak menerangi bumi, namun Tirtan masih tak dapat tertidur. Dipandanginya wajah Lana yang masih tertidur nyenyak disampingnya, tanpa sekalipun terbangun untuk muntah maupun meminum susu cokelat, sepertinya episode mengidam Lana sudah berakhir. Tangan Tirtan menangkup lembut pipi Lana, merekam baik-baik wajah istrinya itu.

Semalaman ia tak dapat tidur setelah menelpon Nania. Ia tak tahu apa yang harus dikatakannya atau dijelaskannya pada Lana agar istrinya itu mengerti. Baru kali ini ia mengalami situasi seperti ini dan benar-benar membuatnya kehabisan akal.

Tiba-tiba Lana membuka matanya, memandangi Tirtan yang masih menangkup pipinya. Tirtan hanya bisa tersenyum paksa.

Morning, hun.”

Lana hanya menatap Tirtan tanpa menjawab sapaan pagi suaminya. Tanpa mengindahkan Tirtan sama sekali, ia bangkit terburu-buru ke kamar mandi, Tirtan segera mengekorinya dan terhenti di depan pintu kamar mandi lantaran Lana segera mengunci pintu tersebut.

“Sayang? Kenapa dikunci?” Di ketuk-ketuknya pintu itu.

Tak terdengar balasan sama sekali dari Lana dan beberapa saat kemudian pintu itu kembali terbuka. Lana berjalan dengan santai dan kembali ke tempat tidur membungkus dirinya dengan bedcover hingga leher. Ia bergelung dengan nyamannya tanpa menggubris Tirtan sama sekali.

Tirtan tak menyerah begitu saja. Ia kembali berbaring dan meraih Lana kedalam pelukannya. Lana juga masih tak menggubrisnya, matanya tetap terpejam. Tirtan hanya bisa mengecup lembut kening Lana. Setidaknya istrinya itu tak menolaknya sama sekali. Kelegaan langsung menyelimutinya, kemudian tanpa kuasa kantukpun mulai menguasainya, membawa Tirtan dalam lelap dengan Lana dalam pelukannya.

***

Sekitar setengah jam kemudian setelah yakin Tirtan sudah terlelap, Lana akhirnya perlahan melepaskan pelukan Tirtan. Ia bangkit perlahan dan menyelimuti Tirtan. Ia tahu Tirtan belum tidur semalaman, dengan kantung mata besar dan gelap dibawah matanya anak kecil sekalipun pasti tahu pria itu belum tidur sama sekali.

Dipandanginya wajah Tirtan dengan seksama, wajah orang yang dicintainya. Perlahan ia menunduk dan mengecup cepat bibir Tirtan.

Sleeping handsome.” Gumamnya. Tirtan bergerak, tangannya mencari-cari. Lana segera mengenggam lembut tangan pria itu, kemudian Tirtan kembali larut dalam tidurnya, berhenti mencari. Lana hanya bisa menggeleng-gelengkan kepalanya. Bahkan dalam tidurpun Tirtan selalu mencarinya.

Setelah berhasil melepaskan genggaman mereka, Lana beranjak mandi, berpakaian dan akhirnya menuju dapur. Ia menyiapkan makanan sambil menyeruput susu coklatnya. Entah sudah berapa lama ia berkutat di dapur akhirnya ia dikagetkan dengan suara panik Tirtan yang sedang mencarinya.

Ia tak menjawab panggilan suaminya itu, sedang malas bersuara. Begitu Tirtan menemukannya di dapur segera didekapnya erat Lana dari belakang. “Jangan pergi, hun.”

It's a Life Disaster!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang