16. Derai Air

23.3K 895 66
                                    

Hai, saya kembali lagi.
Selamat membaca.

~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~

Semenjak persoalan pernyataan cinta Enggar dua bulan lalu, Lana dan Tirtan semakin membuka hati. Tirtan dapat bernapas lega karena Lana dengan gamblang mengatakan kepadanya bahwa pernikahan mereka jauh lebih berharga dibandingkan cinta monyetnya itu. Dia benar-benar ingin membuat pernikahan ini berhasil dengan Tirtan.

Dan untunglah permasalahan Enggar tidak menjadi semakin rumit dengan penolakan dari Lana, bukan berarti Enggar mengharapkan penerimaan Lana, hanya saja harapan itu pasti tetap saja ada dihatinya sekecil apapun itu.

Dan yang lebih melegakan lagi, akhirnya Enggar dan Nita memutuskan untuk tidak bercerai. Sepertinya mereka memang sedang terhempas ombak pertama dikehidupan rumah tangga mereka.

Hadeh, kalau terhempas ya terhempas, asal ombaknya jangan sampai sini lah. Rutuk Tirtan dalam hati, begitu mendengar bahwa Enggar dan Nita sudah rujuk kembali.

Namun segala gerutuannya dengan mudah dilupakan oleh Tirtan mengingat betapa manisnya kini hubungannya dengan Lana.

"Sayang..."

"Iyaa... Sedikit lagi."

Lana turun tangga dengan terburu-buru. Tirtan mau tidak mau selalu cemas melihat Lana yang diperhatikannya selalu tak berhati-hati alias selebor dengan langkahnya. Walaupun kecemasannya tidak pernah terbukti karena selama ini Lana tidak pernah jatuh, kepentok, tersungkur atau apapun itu dengan gaya jalannya yang membuatnya selalu kebat-kebit. Itu juga belum ditambah dengan stiletto yang setia menemani kaki istrinya.

"Sayang, kamu bisa kan ke kantor pakai sepatu yang tidak runcing seperti itu?"

"Hah? Kamu belum kapok bahas ini?" Lana cemberut pada Tirtan. Tangannya tetap dengan lincah mengancingkan stiletto itu di kakinya.

"Anggap saja angin lalu ucapanku barusan." Tirtan segera menyerah. Wajah Lana berangsur-angsur kembali ceria.

Pernah, seminggu lalu Tirtan untuk pertama kalinya mencoba protes terhadap pemakaian stiletto Lana yang menurutnya sudah diluar jalur batas kewajaran (sudah tentu itu hanya menurut Tirtan saja) dan hasilnya Lana cemberut seharian, tidak berbicara, mengacuhkannya, dan lebih sialnya lagi malamnya Lana tidak bisa diajak bekerja sama diatas tempat tidur mereka. Dan keesokan harinya Tirtan langsung menyerah, membiarkan istrinya itu tetap dengan stilettonya.

***

"Hati-hati." Tirtan mengecup hangat kening Lana dan dibalas Lana dengan kecupan kilat dibibir Tirtan. Mereka berdua bertatapan sambil tersenyum hingga Lana bergegas keluar.

"Nggak bawa mobil, mbak?" Nania menghampiri Lana. Gadis itu juga tampaknya baru tiba diantar oleh kekasihnya, Brian. Nania melambaikan tangan pada mobil Brian yang kini mulai menjauh.

"Iya. Lagi males. Mending diantar. Nggak ribet dan mengurangi kemacetan."

"Haha, bilang aja pengen dimanja-manjain sama suami."

"Boleh aja dong, itukan hak istri untuk disayang dan dimanja suami."

Mereka berdua tertawa. Pintu lift akhirnya terbuka dan tampaknya hanya mereka berdua yang menunggu lift tersebut.

"Mbak, setelah mbak menikah ada yang berubah dengan kehidupan mbak?" Tanya Nania tiba-tiba.

"Kenapa nanya-nanya? Penasaran? Pengen dimanjain suami juga? Hehehe... Mending kamu coba sendiri aja kehidupan pernikahan dengan Brian."

It's a Life Disaster!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang