Semuanya berawal dari lelucon mama yang kuanggap lucu. Menikah dengan anak teman mama, kenapa tidak? Tapi, ketika lelucon itu menjadi sebuah kenyataan, yang bisa kulakukan hanyalah pasrah. Karena menolak ternyata tidak ada dalam pilihan.
"La, hari ini gue nikah," kataku memandang pantulan wajahku di cermin. Rambutku sudah tertata apik membentuk model sanggul modern dengan hiasan bunga di sisi kanannya. Wajahku tak luput dari polesan make up yang membuatku tampak begitu berbeda.
"Iya, Zit," balas Lala, sahabatku yang berada di sebelahku. Lala tersenyum kecil yang malah membuatku sedih.
"Gue bakal nikah sama Alvo," kataku lagi tak percaya.
Lala mengangguk dan mengusap punggungku. "Iya."
"Dia om-om," sahutku membayangkan usia calon suamiku yang jauh lebih tua dariku.
"Dia nggak om-om," balas Lala. "Usia kalian cuma terpaut tujuh tahun doang, Zita."
"Tetep aja!" kataku kesal sendiri. Emosi antara marah, sedih dan frustasi bercampur aduk di dalam dadaku. "Gue jadi pengen nangis," rengekku.
"Ya, jangan nangis, dong. Nanti make up lo luntur!" Lala mengambil tisu di atas meja rias dan dengan hati-hati mengusap air mataku yang sudah mulai berjatuhan.
Seharusnya menikah adalah momen membahagiakan bagi sang pengantin. Tapi, tidak untukku. Ini adalah momen termenyedihkan sepanjang masa. Bagaimana bisa aku menikah dengan orang yang tak begitu kukenal. Selain wajah dan namanya, aku tak tahu apa-apa tentang calon suamiku. Ya, memang calon suami tampan, tapi aku tak ingin menikahi seseorang hanya karena fisiknya saja. Aku ingin tahu bagaimana kepribadiannya.
Aku benar-benar bisa gila.
"Kalau gue kabur aja gimana, La?" tanyaku menoleh ke arah Lala yang ada di sebelahku.
"Apa lo gila? Ya, jangan dong!" kata Lala tegas. "Lo nggak inget Mama lo pernah masuk rumah sakit gara-gara lo nolak perjodohan lo dulu? Kalau kali ini kabur, apa lo nggak bisa bayangin apa yang akan terjadi sama Mama lo?"
Mau tak mau pikiranku melayang ke kejadian di mana aku menolak mentah-mentah perjodohan itu. Waktu itu Mama langsung jatuh sakit dan harus dirawat beberapa hari di rumah sakit. Alvo pun yang awalnya menolak perjodohan kami tiba-tiba menyetujuinya. Aku benar-benar tak punya pilihan. Pasti akan lebih mudah jika Alvo menolaknya.
Dari arah pintu kulihat Mama muncul. Mama tersenyum kecil ke arahku. Ia tampak sangat bahagia.
Perlahan Mama berjalan ke arahku. Senyumnya semakin mekar. "Kamu cantik sekali, Zita," kata Mama haru. Tangannya membelai sisi kepalaku dengan lembut. "Hari ini Mama senang sekali. Makasih, ya, sayang."
Benar. Mama memang terlihat sangat senang. Mau tak mau aku memaksakan senyum kecil.
"Ya udah, ayo keluar. Penghulunya sudah datang."
Mendengar itu senyumku langsung lenyap. Jantungku pun berdegup semakin cepat. Tiba-tiba saja aku merasa gugup dan takut. Bayangan tentang kehidupanku setelah menikah entah mengapa terasa seram.
Mama dan Lala membantuku bangkit. Mereka mengapitku dan membantuku untuk berjalan menuju taman belakang rumahku, di mana pernikahanku akan berlangsung.
Taman belakang rumahku yang tadinya hanya berisi rumput dan pepohonan di pinggir halaman sekarang berubah menjadi tempat yang sangat indah. Ada barisan kursi berwarna putih di kanan dan kiri diduduki kerabat dan para tamu undangan. Kelopak bunga mawar putih tersebar di sepanjang jalan di antara barisan kursi. Di ujung, ada tenda kecil berwarna putih dengan hiasan bunga menggantung yang tampak begitu cantik. Di sana berdiri seorang pria yang akan menjadi calon suamiku. Dia tampak tampan dan gagah dengan balutan jas hitam yang melekat sempurna di tubuhnya. Wajahnya setenang air. Dia tak tampak gugup sama sekali. Sangat berbeda denganku.
Setelah ini, aku akan sah menjadi istri dari Alvo Zhafir Ganendra. Kebebasanku akan segera hilang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sweet Disaster
RomanceZita terpaksa menikah dengan Alvo-anak dari teman mamanya-membuatnya menjadi bahan gunjingan karena umur Alvo yang terpaut jarak tujuh tahun. Ketika skenario cerai adalah jalan keluar yang diinginkan, apakah ketulusan Alvo dapat mengubah keputusan Z...
Wattpad Original
Ada 4 bab gratis lagi