Tidurku tak nyenyak karena sinar matahari yang menerobos masuk lewat jendela. Dengan rasa kantuk yang teramat sangat, akhirnya aku bangkit dan berjalan ke arah jendela, berniat untuk menutup tirainya. Lalu ketika sadar akan sesuatu yang ganjil, sontak aku berhenti dan berbalik. Kupandangi arah kasur tempat di mana aku bangun tidur. Bukannya tadi malam aku tidur di sofa? Semalam, karena aku tak mau tidur sekasur dengan Alvo, akhirnya aku memutuskan untuk tidur di sofa. Meskipun sangat tidak nyaman, tapi menurutku itu adalah tempat teraman. Lalu, bagaimana bisa aku sampai ke kasur? Apa aku tidur sambil berjalan? Tapi, kurasa aku tidak punya kebiasaan itu. Lantas siapa yang memindahkanku?
Aku menyisir setiap sudut kamarku, mencari sosok Alvo. Tapi, di sudut mana pun, aku tak menemukannya. Di kamar mandi pun dia tak ada. Ke mana perginya cowok itu?
Aku melirik ke arah jam di nakas. Sekarang sudah pukul sembilan lebih. Semalam aku susah tidur. Mungkin sekitar pukul tiga pagi aku baru bisa terlelap.
Aku memutuskan untuk mandi dulu sebelum keluar kamar untuk sarapan. Dan ketika aku selesai mandi, aku mendapati Alvo sudah berada di kamar lagi dengan memangku seorang anak kecil berkuncir dua. Alvo terlihat sedang bercanda dengan anak tersebut.
"Nte!" sapa anak kecil itu tersenyum lebar ke arahku.
"Oon! Kok kamu ada di sini?" tanyaku mendekat ke arah Oon, keponakanku satu-satunya.
Oon yang berada di pangkuan Alvo mengangguk. "Diajakin puyang ama Mama, ama Papa. Naik pecawat, Nte. Oon tebang tinggi anget." Oon menggerakkan kedua tangannya ke atas merujuk tinggi pesawat yang sedang terbang. "Oon nggak atut."
Aku mengangguk-anggukkan kepala mendengar celotahan Oon. Sudah hampir satu tahun Kak Lilith dan suaminya, orang tua Oon, tinggal di Amerika untuk mengurus bisnis kulinernya. Beberapa kali mereka pulang ke Indonesia untuk berkunjung dan mengurus bisnisnya yang di sini.
"Ini," kata Alvo menyerahkan sebuah kotak berwarna merah dengan pita emas di atasnya.
Sejak tadi, aku mencoba untuk tak menatap cowok itu. Rasanya sangat canggung jika harus berhadapan dengannya. Terlebih aku tak tahu bagaimana ceritanya aku bisa tidur di kasur. Apa jangan-jangan semalam, tanpa sadar, aku tidur berdua dengannya? Membayangkan hal itu membuat perutku mual.
"Apa itu?" tanyaku seraya duduk di ujung sofa, sengaja membuat jarak di antara kami.
"Dali Mama sama Papa, Nte," jawab Oon merebut kado itu dari tangan Alvo dan mengulurkannya ke arahku. "Cebenelnya pengennya buat Oon. Tapi, Mama biyang nggak boleh. Oon tadi nanis, Nte. Minta ini tapi nggak dikasih Mama. Oon cedih," kata Oon lagi menampilkan ekspresi sedih yang dibuat-buat.
"Makasih, ya," balasku tertawa kecil melihat tingkah Oon yang lucu. Segera aku membuka kado tersebut. Senyumku seketika lenyap ketika melihat kain berwarna merah tua berbahan renda. Buru-buru aku menutup kembali kotak itu dan menatap Alvo dengan panik.
"Isinya apa?" tanyanya terdengar ingin tahu.
Aku menggelengkan kepala. "Nggak, nggak apa-apa," jawabku seraya meletakkan kotak itu di belakangku.
Alvo mengernyitkan dahi bingung. Meskipun begitu ia hanya mengangguk dan tak memaksaku untuk memberitahukan isi dalam kotak ini. Lagian, mana bisa aku mengatakan bahwa Kak Lilith dan Kak Joni memberiku kado lingerie. Aku yakin Kak Joni tak ada sangkut pautnya dengan kado lingerie ini, pastilah ini ulah kakakku, Kak Lilith.
"On, cari Mama, yuk?" ajakku seraya bangkit berdiri. Tanganku terulur untuk ke arah Oon yang segera digandengnya.
"Ayo, Nte!" Oon melompat turun dari pangkuan Alvo dan melambaikan tangan ke arah cowok itu. "Dadah Uncle Al."
KAMU SEDANG MEMBACA
Sweet Disaster
RomanceZita terpaksa menikah dengan Alvo-anak dari teman mamanya-membuatnya menjadi bahan gunjingan karena umur Alvo yang terpaut jarak tujuh tahun. Ketika skenario cerai adalah jalan keluar yang diinginkan, apakah ketulusan Alvo dapat mengubah keputusan Z...
Wattpad Original
Ada 2 bab gratis lagi