Aku meninggalkan taman belakang rumahku dan pergi ke kamar bahkan sebelum acara pernikahanku berakhir. Aku merebahkan diri di kasur tanpa peduli merusak dandananku. Lalu aku mulai menangis sampai tanpa sadar sudah jatuh tertidur.
Aku bangkit dari posisi tidurku. Mataku terasa sembap karena menangis. Aku menoleh ke arah nakas di samping tempat tidur. Kini jarum jam menunjuk angka 10.13. Ternyata sudah cukup malam.
Aku berjalan menuju meja rias di sisi tempat tidur yang lain. Aku duduk di kursi meja rias. Kutatap pantulan wajahku di cermin. Make up di wajahku tampak berantakan karena air mata. Rambutku pun terlihat acak-acakan karena tertidur. Aku meraih jepit rambut di rambutku yang membantu rambutku tertata rapi. Setelah semua jepit rambut berhasil kuambil, aku segera menyisir rambutku yang tampak agak mengembang dan berantakan. Dengan susah payah aku menggerakkan sisirku untuk merapikan rambutku yang entah mengapa malah tambah kusut. Karena kesal, aku langsung membuang sisir itu ke meja di hadapanku.
Aku mencoba menarik napas dalam dan mengembuskannya perlahan. Gemuruh kesal dan sedih tak kunjung hilang dari dalam dadaku. Aku mengusap wajahku dengan gusar. Bagaimana hidupku setelah ini?
Kudengar suara pintu terbuka di belakangku. Aku menoleh dan mendapati Alvo berjalan memasuki kamarku. Sontak aku menahan napas melihat kehadirannya.
"Lo ... lo ngapain di sini?" tanyaku agak terbata-bata.
Alvo tampak agak kaget ketika melihatku. Lalu dengan santai ia melepas jas yang dipakainya. "Menurut lo ngapain?" tanyanya balik seraya berjalan ke arah tempat tidurku.
"Kita, kan, udah sepakat kalau lo bakal tidur di kamar tamu."
"Keluarga lo yang nyuruh," jawabnya yang kini sudah membuang jasnya ke tempat tidur. "Kamar mandi lo mana? Gue mau mandi."
Aku memandangnya tak percaya. Bisa-bisanya dia sesantai itu menanyakan kamar mandi? Apa dia tidak sadar kalau kami baru saja melangsungkan pernikahan?
Kulihat Alvo mengernyitkan dahi, seperti menunggu jawabanku. Dengan sebal aku menunjuk arah kamar mandi yang berada di ujung ruangan. Tanpa menoleh lagi ke arahku Alvo langsung berjalan ke sana dan masuk ke dalam kamar mandi.
Aku kembali menatap cermin di hadapanku dan memandang pantulanku dengan terkejut. Kini penampilanku tampak lebih berantakan dari sebelumnya. Hal ini karena rambutku yang sekarang mirip singa. Pantas saja Alvo kaget ketika melihatku tadi.
"Dasar memalukan," runtukku seraya menyambar tisu basah di meja dan mulai membersihkan make up di wajahku.
Apa yang harus aku lakukan untuk mengusir Alvo dari kamarku? Aku sungguh tak ingin berbagi kamar dengannya. Terlebih jika harus berbagi tempat tidur. Aku sungguh tidak mau!
Mataku melirik ke arah kamar mandi. Masih terdengar air mengucur dari shower. Sepertinya belum ada tanda-tanda bahwa Alvo akan segera keluar dari sana. Segera aku bangkit dari duduk lalu berjalan ke arah pintu kamarku. Aku mencoba membuka pintu tersebut, tapi tidak bisa seolah pintu ini terkunci.
"Nggak mungkin!" bisikku tak percaya seraya masih mencoba menarik pintu ini agar terbuka, tapi sia-sia. "Buka pintunya!" teriakku menggedor-gedor pintu kamar, berharap siapa pun yang ada di luar membukakan pintu ini untukku. "Ma! Pa! Bukain pintunya!"
Aku terduduk di lantai dengan tangan masih memukul-mukul pintu kamarku. Kenapa jadi seperti ini?
Kudengar suara pintu terbuka dari arah kamar mandi. Aku menoleh dan kudapati Alvo tengah keluar dari kamar mandi dengan handuk terkalung di leher. Tangannya mengusap-usapkan handuk ke rambutnya yang masih basah. Kemeja dan celana panjangnya sudah berganti dengan celana training hitam dan kaos putih polos. Aku tak tahu dari mana dia mendapatkan pakaian itu.
"Lo ngapain duduk di sana?" tanyanya ketika melihatku.
"Kita dikunciin," jawabku lesu.
"Memang," balasnya terdengar tak peduli seraya duduk di kasur.
Aku menghela napas panjang dan bangkit berdiri. Lalu aku berjalan menuju ke arah Alvo dan berhenti di depannya. "Lalu gimana?" tanyaku padanya.
Alvo mengamatiku dari ujung kepala sampai ke kaki. Sontak aku menunduk, menatap gaunku yang tampak kusut.
"Lo nggak mau mandi dulu?" tanyanya.
Aku berdecak lalu berbalik menuju kamar mandi. Tapi, karena lupa membawa pakaian ganti, akhirnya aku berbalik menuju lemari.
Orang lagi diajak bicara serius malah disuruh mandi. Memangnya semengerikan itu penampilanku? Dasar menyebalkan.
***
Cukup lama aku berada di kamar mandi. Selain berendam, aku juga menyiapkan mental menghadapi Alvo. Bukan aku berencana untuk mengajaknya perang. Aku ingin bernegosiasi tentang hubungan kami. Dan kira-kira kapan dia akan menceraikanku. Maksudku, tidak mungkin kan dia akan mempertahankanku seumur hidupnya. Kami pun sama-sama tahu bahwa kami saling tidak suka satu sama lain.
Ketika aku keluar dari kamar mandi, kulihat Alvo sedang sibuk dengan ponsel di tangannya. Ia kini duduk dengan punggung bersandar pada kepala tempat tidur. Aku berjalan menuju sofa yang berada di seberang tempat tidur dan duduk di sana. Tanganku sibuk mengusap rambut panjangku yang basah. Sebenarnya aku ingin pergi ke meja riasku mengambil hair dryer untuk mengeringkan rambutku. Tapi, entah kenapa aku jadi takut mengganggu Alvo. Aku bahkan tak tahu kenapa aku jadi takut mengganggunya.
"Al," panggilku. "Alvo."
"Gue jauh lebih tua dari lo, tau," balasnya masih dengan pandangan terpaku pada layar ponselnya.
Aku mendengus kesal. "Om," panggilku.
Pandangan Alvo terangkat ke arahku. "Om?"
Aku tersenyum lebar dan menganggukkan kepala. "Lo kan jauh lebih tua dari gue."
"Alvo aja kalau gitu." Alvo kembali memusatkan perhatiannya pada layar ponselnya.
"Al," panggilku lagi. "Gue mau ngomong sama lo."
"Ngomong aja."
"Bagaimana dengan hubungan kita ini? Gue paham kita udah nikah, tapi, kan, lo ... gue... kita ... pernikahan ini ...." Aku mendesah, kebingungan untuk merangkai kata. "Lo seharusnya tidur di kamar tamu," kataku akhirnya.
"Keluarga lo yang nyuruh gue masuk ke sini."
"Lo, kan, bisa nolak."
"Nolak masuk ke kamar istri gue di depan keluarganya?" tanyanya seperti menyindirku. "Yang bener aja."
"Lalu bagaimana dengan hubungan kita ini?"
Alvo menatapku. "Lo istri gue, gue suami lo," jawabnya seraya meletakkan ponselnya di nakas yang berada di sebelahnya. Lalu Alvo berbaring di tempat tidur bersiap untuk tidur. "Selamat malam," katanya lagi menarik selimut ke tubuhnya.
"Selamat malam?" gumamku tak percaya.
Jika Alvo tidur di kasurku, lantas aku tidur di mana? Tidak mungkin aku tidur sekasur bersama dia. Aku tidak mau!
KAMU SEDANG MEMBACA
Sweet Disaster
RomanceZita terpaksa menikah dengan Alvo-anak dari teman mamanya-membuatnya menjadi bahan gunjingan karena umur Alvo yang terpaut jarak tujuh tahun. Ketika skenario cerai adalah jalan keluar yang diinginkan, apakah ketulusan Alvo dapat mengubah keputusan Z...
Wattpad Original
Ada 3 bab gratis lagi