Seminggu kemudian. Aku masih shock dengan semua yang telah kualami. Rene, pria idamanku, ternyata adalah pria beristri dengan 2 anak. Dan dengan mudahnya ia ingin menceraikan istrinya dan kabur bersamaku. Jika saja Jane tak memberitahuku yang sebenarnya, aku hampir saja mengorbankan nyawa satu ibu dan dua anak yang masih kecil-kecil. Rene adalah pria yang tak bertanggung jawab, ia lebih mementingkan perasaannya daripada komitmen terhadap istri dan anak-anaknya...
"Bukankah kau juga sama seperti Rene?" bisik suara dalam hatiku, "meninggalkan suami demi pria idaman, meninggalkan komitmen yang pernah kau buat sendiri, di hadapan-Ku dan suamimu..." airmataku menetes dengan deras.Aku tahu itu suara Tuhan yang sedang mengingatkan dan menyadarkanku dari segala dosa. Ya, aku tak ada bedanya dengan Rene. Aku juga telah melanggar komitmenku.
Aku buru-buru melangkah ke kamar dan membuka laciku. Aku mengambil cincin kawin yang telah kukubur di tumpukan baju-bajuku, cukup lama setelah aku berhubungan serius dengan Rene. Aku memakai cincin itu di jari manisku. Komitmenku... yang telah kubuat. Aku telah melanggarnya sendiri! Aku buru-buru merogoh laci dan menyambar map coklat yang berisi gugatan cerai dari Steve. Dengan bersimbah airmata kurobek-robek map dan semua isinya, seperti orang gila. Steve... aku adalah wanita yang paling bersalah kepadamu!***
Di pepohonan rindang kami duduk sambil bercengkrama. Steve memegang tanganku, erat dan hangat. Ia tersenyum.
"Seperti mimpi ada di sini bersamamu," ujarku.
"Ini bukan mimpi," jawabnya sambil mengecup keningku."
"Aku tak percaya kau memaafkanku, setelah kesalahan besar yang telah kulakukan padamu..."
"Eva, aku pun bersalah padamu," ujarnya sambil menatapku lekat-lekat, "aku belum menjadi suami yang baik, sehingga kau tak puas dengan hidup kita..."
"Tidak, Steve, akulah yang bersalah. Kau tak pernah salah. Kau adalah suami yang terbaik untukku, sekarang dan selama-lamanya," jawabku,"tapi ngomong-ngomong mengapa kau mengajukan gugatan cerai padaku?"
"Kupikir kau ingin melepaskan diri dariku. Aku mempermudah jalanmu... Namun tahukah kau, bahwa itu pun sangat sulit bagiku!"
"Jadi kau melakukan itu demi kebahagiaanku?" tanyaku. Steve mengangguk. Kami duduk berhadapan.
"Kau tahu, Eva," ujar Steve lagi, "mungkin kata-kataku terdengar aneh dan kuno... Tapi... aku mencintaimu."
"Aku juga mencintaimu, Steve... Dan kupikir aku sudah siap menjadi seorang ibu sekarang."Tamat
KAMU SEDANG MEMBACA
The Commitment
RomancePernikahan adalah soal komitmen... tapi bagaimana jika cinta sudah berpindah ke lain hati? Haruskah aku berkomitmen tanpa cinta?