Prolog - Awal Mula

342K 11.9K 217
                                    

BAGIAN CERITA TERSEDIA: PROLOG (Awal Mula) - PART 8, SISANYA DIHAPUS ACAK.

Dia gadis kelahiran Indonesia. Namanya Indy Nabella. Orang-orang di sekitarnya memanggilnya Indy. Usianya 22 tahun dan sedang menempuh tahap terakhir pendidikan tinggi di negeri Paman Sam. Amerika. Tumbuh dibawah pengawasan dan didikan seseorang yang luar biasa membuatnya ingin memiliki standar hidup yang bisa dibanggakan. Hal itulah yang membuatnya nekat untuk mencari beasiswa belajar di luar negeri.

Hidupnya biasa saja. Hanya belajar, sedikit bersosialisasi, dan bekerja sampingan. Awalnya dia tidak pernah memikirkan hal itu sebelumnya. Tetapi melihat lingkungan kampusnya, dimana banyak teman-temannya yang memiliki pekerjaan sampingan membuatnya ingin mencoba juga.

"Kau sudah bisa pulang, Indy".

Jonathan.

Pria keturunan Inggris-Jerman inilah pemilik kafe tempatnya bekerja. Dia baik, ramah, dan murah senyum. Tidak heran kafenya selalu ramai pengunjung, terutama gadis-gadis mahasiswi yang kuliah di universitas yang sama dengannya.

Tak jarang mereka menatap Indy seakan ingin memakannya hidup-hidup karena Jonathan seringkali mengobrol dengannya seperti layaknya sahabat. Atau mungkin lebih, dari pandangan mereka. Karena Jonathan memang pria yang boleh dibilang tidak mudah membuka diri pada orang lain. Tersenyum pada pelanggan-pun hanya sekadar ramah-tamah.

"Kau ingin kuantar, Indy?" Tanya Jonathan sambil memembalik tanda open menjadi closed.

"Tak perlu Joe"

Oke, semua peralatan sudah bersih. Cepat-cepat Indy mencuci tangan dan mengeringkannya. Setelah itu menyambar tas dan mantelnya di balik konter, dan berjalan menuju pintu.

"Hey!"

Indy yang sudah ditengah pintu, berbalik lagi.

"Kau ada acara malam ini?" tanya Jonathan.

Indy berpikir sebentar, sebelum menjawab, "ya, aku harus pergi ke rumah temanku untuk mengembalikan buku dan mendiskusikan sesuatu."

"Oh, baiklah. Kurasa lain kali." balas Jonathan.

"Ada apa memangnya?" tanya Indy.

"Tidak ada. Sudah, tak apa. Pulanglah, dan hati-hati di jalan." kata Jonathan dengan senyuman di wajahnya, dan tangan mengibas udara dengan gerakan mengusir.

Indy berdecak melihat itu, "ya sudah. Aku pulang. Sampai jumpa."

Jonathan tidak menjawab karena gadis itu sudah keluar dari kafe. Ia melihatnya mengeratkan mantel berjalan bergabung bersama orang-orang di trotoar. Menatap tubuh kecil itu berjalan berlalu-lalang hingga hilang ditengah kerumunan.

***

Dilain tempat di waktu yang sama, sebuah mobil berwarna hitam bertengger di salah satu parking area di seberang jalan depan sebuah kafe kecil yang baru saja ditutup.

"Apa tuan masih ingin menunggu?" Seorang pria mengenakan jas lengkap dan rapi bertanya dari balik kemudi pada seseorang yang duduk tenang di kursi belakang.

Orang itu menoleh kearah luar kaca gelap mobilnya, mengawasi pergerakan seorang gadis yang baru saja selesai bekerja. Seorang gadis yang sudah beberapa waktu terakhir membuatnya berada disini di waktu yang sama untuk sekedar melihatnya dari kejauhan. Hanya itu yang bisa dilakukannya sekarang. Setidaknya sampai ia tahu harus melakukan apa agar gadis itu bisa bersamanya.

Pria itu terlihat berbahaya dengan setelan hitam dan mata abu-abu gelap yang tajam. Kesan maskulin sangat melekat padanya. Ditambah dengan feromon berbahaya yang menguar darinya. Menunjukkan jika ia bukan orang sembarangan meskipun penampilannya terlihat seperti orang kantoran di New York kebanyakan.

"Tak perlu Tom, gadisku sudah pulang, besok saja kita kembali ada yang harus kuurus. Dan kau perintahkan anak buahmu untuk mengawasi dia, pastikan dia aman sampai ke flat-nya." katanya.

"Baik tuan." Thomas segera menjalankan mobil hitam mulus berlogo mercedes tersebut kembali ke penthouse Howard Hoffler.

Howard Hoffler. Itulah namanya.

Jika boleh diibaratkan dengan sedikit hiperbola, Howard tampan bak dewa. Seorang mega bilyuner yang menjaga kesempurnaan ditambah dia adalah pemimpin perusahaan besar di kota itu. Kendali penuh atas perusahaan utama dan ratusan cabangnya di seluruh dunia berada di tangannya. Semua orang pasti akan menatapnya berkali-kali hanya untuk memastikan penglihatannya sehat. Bagaimana mungkin Tuhan bisa sangat tidak adil dalam menciptakan makhluk-Nya? Mengapa pria itu harus memiliki wajah yang sempurna disaat dia sudah diberkahi kekayaan yang berlimpah? Tidakkah itu berlebihan?

Namun Howard tidak pernah memikirkan tatapan itu. Itu sudah biasa terjadi padanya sejak bertahun-tahun yang lalu. Semua orang pasti akan menoleh dua kali jika berpapasan dengannya. Seingatnya, sejauh ini hanya ada satu orang yang berhasil membuatnya ingin mencari cermin untuk melihat rupanya sendiri. Satu orang yang melihatnya dengan tatapan datar dan tidak ada kesan tertarik padanya sama sekali. Padahal Howard menginginkan sebaliknya. Dia hanya ingin perhatian dari gadis itu saja. Tidak berlebihan kan? Tetapi hal itupun tidak bisa diperolehnya.

Membuatnya frustasi.

Mau tidak mau Howard kembali teringat awal mulanya ia bisa menjadi gila seperti sekarang. Mengintai seorang gadis dan mengagumi kecantikannya dari kejauhan seperti bajingan mesum. Yaitu saat ia melintasi tempat ini dan melihat gadis itu membela seorang tua yang terlihat miskin dari sekelompok remaja berandalan. Betapa hal kecil itu bisa membuat hatinya terasa hangat. 

Sejak hari itu pula dia dengan sengaja masuk ke dalam kafe kecil tempatnya bekerja hanya untuk mencari cara untuk berbicara dengan seorang gadis itu. Dari informasi yang dibawa oleh asistennya, gadis itu bernama Indy Nabella, 22 tahun, tahun terakhir di Columbia University, berasal dari Indonesia, dan tinggal di sebuah apartemen di daerah Midtown Manhattan. Dan apartemen tempat gadis itu tinggal adalah salah satu aset yang dimiliki Howard di Manhattan. Kebetulan yang menyenangkan. 

Indy, hanya memberinya tatapan penasaran karena ia selalu datang ke kafe itu dan memesan menu yang sama setiap waktunya. Bukan malah tertarik, gadis itu mungkin berpikir jika ia pelanggan yang tidak mengerti mode. Selalu memesan kopi murni hitam pekat. Tidak seperti kopi panas yang gelap itu, Howard harus membiarkan kepalanya tetap dingin dan cerah untuk mencari cara agar ia bisa memerangkap gadis itu untuk dirinya sendiri.

Jika gadis itu tahu, akankah ia merasa senang atau takut? Ada seseorang gila kontrol yang mengawasinya setiap saat, memantau aktivitasnya, merencanakan sesuatu tanpa sepengetahuannya seperti seorang psiko gila. Howard tidak peduli itu. Yang ia tahu ia harus memuaskan rasa penasarannya dengan menarik gadis itu masuk ke dalam hidupnya sekarang juga.

Termasuk menyingkirkan apapun dan siapapun yang menghalangi jalannya.



Posted, 12 Desember 2015

EDISI REVISI

Billion Dollar Bride (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang