BAGIAN CERITA TERSEDIA: PROLOG (AWAL MULA) - PART 8, SISANYA DIHAPUS ACAK.
Shift malam Indy di kafe hari ini berjalan cukup lancar. Ia masih punya jam kerja hingga dua jam kedepan. Ia melirik jam tangan yang melingkar di tangannya. Saat ini sudah pukul 9 malam. Akhir-akhir ini rutinitasnya di kafe membuatnya sedikit jenuh. Untung saja Indy akan lulus sebentar lagi dan bisa mencari rutinitas lainnya. Mungkin memiliki satu bisnis sambil menulis buku menyenangkan. Indy bisa memulai itu saat nanti dia sudah pulang ke Jakarta. Indy mendongak ketika mendengar suara denting pintu kafe yang berdenting, tanda jika ada pengunjung yang baru saja saja datang.
Indy berjalan kedepan konter pegawai untuk melihat pelanggan itu sebentar. Saat ini Indy hanya bisa melihat punggung lebar seorang pria bertubuh tinggi yang mengenakan kemeja berwarna biru langit. Di lengannya tersampir jas milik pria itu. Saat pria itu menoleh kearahnya, Indy terpaku pada seseorang yang baru datang itu. Dia mengenal pria itu. Dan sepasang mata abu-abu itu balas menatapnya. Seperti terakhir kali mereka bertatapan.
Dia pria tampan yang dikagumi Lily beberapa hari lalu. Ya, Indy mengingatnya. Bagaimana mungkin dia bisa lupa pada seseorang yang sudah menatapnya begitu lapar bahkan saat pertama kali mereka bertemu. Tapi karena ini masih jam nya bekerja dan ia memiliki tanggung jawab melayani para pelanggan dengan segala hormat, Indy akan bersikap profesional. Sekaligus berharap jika beberapa waktu lalu ia salah melihat. Pria itu tidak tertarik padanya.
Pria itu berjalan masuk dengan perlahan untuk mencari tempat duduk di kafe, sambil melemparkan senyumannya pada Indy. Indy langsung menaikkan sebelah alisnya, refleks. Apa Ia tidak salah lihat? Saat ini hanya Indy yang ada di bagian konter pegawai. Tak mau ambil pusing, Indy berpikir kalau pria itu hanya seorang pelanggan yang ingin bersikap ramah. Ternyata pria itu lebih terlihat tampan saat tersenyum begitu.
Apa? Tampan? Okay...
"Nona."
Suara baritone pria itu terdengar pelan namun ada wibawa dan ketegasan disana. Jika mengingat pembicaraan Debra dan Lily dengannya saat membicarakan pria, Indy jadi teringat satu kata. Husky. Suara pria yang terdengar seksi bagi pada wanita. Tumbuh berkembang di negeri bebas dengan teman-teman modern yang tumbuh besar disini, memberinya banyak sekali pengetahuan tentang kehidupan dewasa. Selama ini hidupnya hanya tentang kampus, apartemen, dan makan agar tetap hidup diantara New York-er lainnya.
Bahkan kini Indy baru teringat jika ia hampir tidak pernah benar-benar berkencan dengan pria.
"Bisakah kau mencatat pesananku?"
Pria itu berkata sekali lagi dengan suara beratnya yang seksi. Indy menarik nafas dalam untuk menormalkan detak jantungnya yang entah mengapa berdetak seperti genderang perang. Mungkin Indy terpengaruh dengan perkataan Lily beberapa waktu yang lalu saat mengatakan jika pria tampan ini memiliki aura yang kuat. Indy tidak memiliki pilihan lain selain berjalan mendekat kearah meja pria itu untuk mencatat pesanannya. Ia merasa udara di sekitar meja pria itu hampa. Ia butuh menghirup udara segar, agar tetap hidup dan mencatat pesanan pria itu dengan selamat. Okay, tahan. Indy harus bekerja dengan profesional. Ia menarik nafasnya perlahan dan berusaha menormalkan detak jantungnya yang tadi sempat menggila.
Tarik nafas, hembuskan. Tarik nafas, hembuskan.
Peace on.
"Anda ingin memesan apa, sir?"
Indy bersuara pelan, namun sangat nyaman untuk di dengar di telinga Howard. Beruntunglah Indy karena dia bisa dengan cepat mengendalikan dirinya untuk tidak terjerumus dalam kegugupan ketika berhadapan dengan pria asing yang sialnya sangat tampan ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Billion Dollar Bride (SELESAI)
RomantizmIndy Nabella adalah seorang mahasiswa semester akhir di sebuah perguruan tinggi di New York. Rencana untuk kehidupannya jelas. Selesai belajar ia akan langsung terbang pulang kembali ke Indonesia. Berkarir, lalu mungkin bertemu jodoh dan akan mulai...