#9

795 16 3
                                    

"Kau yakin dengan keputusan ini? Ini bukanlah hal yang main-main..." Josh bicara dengan gusar kepada seorang gadis yang tangannya di gips,

"Aku yakin.. Ini semua salahku." Lirih gadis itu, dia menghembuskan nafas dengan pelan, bersamaan dengan air mata yang bergulir turun membasahi pipi putihnya.

"Terserah kau, aku tidak ingin ikut campur, tapi kau yang memaksaku untuk ikut campur, by the way aku sudah memesan tiket keberangkatan ke UK tepat setelah kau operasi..." Ujar Josh, "sudahlah, tidak usah disesali sayang, semua sudah ada yang mengatur, tapi tolong jangan lakukan operasi itu... Kita hanya harus menunggu... Keadaan kau juga belum pulih total.." Josh memelas kepada gadis yang terbaring lemah itu.

"Tolong Josh... Biarkan aku menebus kesalahanku..." Tangis gadis itu pecah bersamaan kalimat akhirnya, dengan cepat Josh mengusap puncak kepala gadis itu, berusaha menenangkannya dengan susah payah.

"Tapi... Terserah, tapi kau harus ikut aku, aku akan bungkam..." Josh masih mengusap puncak kepala itu dengan perasaan bimbang, apa cara ini adalah cara yang benar? "Jadi, kapan operasi itu akan dijalankan?"

"Dokter Benny masih harus memberi tahu padanya..." Jawab gadis itu.

"Kau masih memiliki waktu untuk membatalkannya... Lalu, bagaimana kalau dia menanyakan kau?! Bagaimana kalau dia tahu semua ini?" Desis Josh frustasi.

"Tolong... Bilang aku sudah meninggal..."

"Apa? Kau gila!" Josh setengah berteriak kepada gadis dihadapannya, dia sungguh frustasi.

"Tolong aku.... Aku harus melepasnya, dan awalnya dari dia melepasku.."

"Okay, aku tahu ini dosa.. Tapi, argh, sudahlah... Aku akan jadi pendosa yang tega membohongi sepupu sendiri demi teman..."

"Josh.. Thank you..." Lirih gadis itu, masih diiringi isak tangis yang tak tertahankan.

"You're welcome Bell..."

"No... Henceforth, my name isn't Bella again... I'm Ira.." Jawab Ira dengan senyuman pahit, sedangkan Josh hanya bisa menghela nafas dengan panjang.

~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~

Cklek!

Pintu putih itu terbuka lebar, lalu seorang dokter dan dua orang suster memeriksa keadaan Deon dengan hati-hati, namun saat salah satu suster memeriksa suhu tubuhnya, mata Deon langsung terjaga.

"Wah, syukurlah keadaan anda jauh lebih baik, dan.... Saya juga ada kabar baik untuk anda.." Dokter yang bernama Benny itu menyapa Deon dengan ramah, sedangkan Deon? Dia hanya menatap kosong, tatapannya menerawang, raganya bagaikan disana, namun tidak dengan jiwanya.

"Apa itu?" Deon berkata dengan datar. sungguh, dia hampir menganggap segala hal itu tidak ada yang baik setelah mendengar sahabat skaligus wanita yang dia cintai.

"Tuan Joshua meminta saya untuk mencarikan donor kornea mata, dan saya menemukan donor kornea mata yang ternyata cocok dengan anda, tapi kita harus menunggu kondisi kesehatan anda sampai pulih..." Dokter Benny mengucapkan kata-kata itu dengan senang, berharap Deon akan sedikit bahagia mendengar kabar darinya.

"Oh, terima kasih dok..." Sungguh, dari seluruh pengalamannya menjadi dokter, ini pertama kalinya dokter Benny melihat seorang pasien buta yang tidak terlihat begitu bahagia saat mendapatkan donor mata.

"Hmm, mungkin kita akan melakukan operasi minggu depan, saya rasa kesehatan anda sudah jauh lebih baik minggu depan, itu baru prediksi saya.."

"Saya serahkan semuanya kepada anda.." Lagi-lagi jawaban Deon membuat dokter Benny tertegun.

"Baiklah, saya akan mengatur tanggalnya, tolong jaga kesehatan anda, jangan sampai kondisi anda menurun, itu sangat mempengaruhi..." Ucapan dokter Benny bagaikan angin lalu dikedua telinga Deon.

*****

"Kau bisa masuk, dia sedang tidur, tapi hati-hati... Dia mudah terbangun." Josh membuka pintu dengan pelan, nyaris tidak menimbulkan suara decitan sedikit pun, dia membiarkan Ira masuk kedalam ruangan itu. Sekarang jam sudah menunjukan pukul dua pagi, gadis itu sengaja datang dipagi buta agar tidak ketahuan oleh pemilik kamar.

Entah untuk keberapa kalinya air mata itu bergulir turun, dia menangis dalam diam dan berusaha tidak mengeluarkan isakan kecil, gadis itu memandangi wajah tidur Deon dengan sedih. Ini bukanlah kisah hidup yang dia inginkan, tak akan ada manusia yang memiliki keinginan untuk punya kisah hidup seperti ini.

"Siapa di situ?" Mata tajam Deon terbuka begitu merasakan ada kehadiran seseorang di sampingnya, sedangkan Josh langsung memberi kode telunjuk yang ditempelkan di bibirnya.

"Ini aku." Jawab Josh.

"Ada apa Josh?" Deon yang dilihat Ira bukanlah sahabatnya yang dulu, tatapan mata itu sangat suram. Tubuh Deon juga sangatlah kurus dilengkapi kulit pucatnya.

"Apa seorang sepupu tidak boleh menjenguk sepupunya yang sedang sakit?" Tanya Josh yang menjurus.

"Tentu saja boleh, jam berapa sekarang?"

"Jam dua pagi.." Sahut Ira refleks menjawab pertanyaan Deon, sedangkan pria itu, jangan ditanya, tubuh Deon menegang seketika begitu mendengar suara Ira. Saat menyadari dia salah, Ira refleks menutup mulutnya.

"Kau kenapa?" Josh juga tidak kalah tegang saat bertanya, namun dia berpura-pura tidak tahu.

"Suara itu..." Jawab Deon dengan suara yang bergetar, dia sungguh merindukan suara itu!

"Suaraku kenapa?" Josh semakin gugup, begitu juga dengan Ira yang berada disamping Josh, gadis menutup mulut dengan kedua tangannya, dia sungguh bodoh.

"Kau kesini bersama siapa? Tamya Deon dengan tajam.

"Hanya aku sendiri.. Kenapa?" 'Aku sendiri lelaki yang ke sini, orang yang bersamaku itu perempuan.' Ralat Josh dalam hati.

"Bohong!" Deon setengah berteriak, membuat Ira semakin berangsut menjauh.

"Tidak!" Jawab Josh, 'tidak salah lagi.' Batin Josh.

"Maaf..." Suara Deon tercekat saat mengucapkan satu buah kata itu.

"Untuk apa?"

"Kalau waktu bisa di ulang, aku akan mengatakan pada Bella, aku cinta dia... Aku tidak bisa menerima ini semua." Kalimat Deon disaring berkali-kali oleh Ira, tubuh kecilnya bergetar hebat, lalu tatapannya bertemu dengan mata Deon. Pria itu entah kenapa enggan memindahkan tatapan matanya, begitu juga dengan Ira.

~to be continued~

:p :) ;) xx

Love or HurtWhere stories live. Discover now