"Berhentilah mengambil halaman utama untuk beberapa hari ini Lana, lakukan investigasi. Aku ingin indepth news, terbitkan pada edisi spesial di hari siding pertama kasus, kau boleh memilih fotografer ataupun tim redaksi yang kau inginkan"
Pandanganku mengawang. Kubik kerjaku senyap, berbeda dengan kubik kerja rekan-rekanku yang dipenuhi bunyi ketikan yang saling beradu satu sama lain, mereka terburu-buru menyelesaikan artikel-artikel yang harus selesai dalam hitungan jam. Mereka terburu-buru, beberapa panik karena narasumber tak bisa di hubungi, beberapanya lagi berkerut dahi sibuk berkutat dengan rangkaian kata dalam layar komputer yang besok subuh sudah harus ada di meja pembaca ditemani secangkir kopi hangat, sedangkan aku memiliki beberapa hari untuk sebuah berita, setidaknya satu minggu, sebelum sidang Rei dijadwalkan. Satu minggu untuk sebuah berita dalam koran adalah waktu yang luar biasa panjang mengingat pergerakan berita yang dituntut cepat dan terbit setiap hari, jangan tanya mengapa aku bisa seberuntung ini, inilah takdir.
aku meraih ponselku, menimbang-nimbang nama fotografer maupun tim redaksi yang mungkin bisa membantuku dalam kontak. Mungkin aku hanya butuh satu orang saja. Rendy Kercana.
"halo aslana?" Rendy menjawab teleponku.
"Rendy, aku butuh bantuan untuk liputanku"
***
Setelah melakukan diskusi singkat dengan Rendy, aku memutuskan untuk pulang. Ada banyak hal yang harus aku cari tau untuk pendalaman kasus ini, dan aku butuh perencanaan. Belum sempurna aku memasuki rumahku, ponselku bordering, dari private number.
"halo?" jawabku
Seseorang di seberang teleponku bergeming, terdengar suara terkekeh kecil.
"halo?" tanyaku lagi dengan suara sedikit bergetar
"Berhentilah" jawabnya.
Lalu panggilan diakhiri sepihak olehnya.
Sepanjang malam aku tidak tidur, memikirkan penelpon misterius itu. Memikirkan rencana untuk menggali data dalam investigasiku, terlalu banyak yang ku pikirkan, terlalu banyak juga yang membuatku ketakutan, dan lebih banyak lagi yang membuatku penasaran.Bel rumahku tiba-tiba berbunyi, aku melihat jam di nakas dan masih meunjukan pukul 2 pagi. Tidak mungkin anak-anak nakal pemencet bel masih terjaga di pagi-pagi buta dan memainkan bel rumahku, dan aku memutuskan keluar memeriksanya sendiri.
"TEMUKAN BRANKASNYA"
Sepucuk surat dan sebuah foto seorang wanita kutemukan dalam sebuah amplop coklat yang ditinggalkan entah oleh siapa di depan pintu gerbangku. Lama sekali aku menatap foto itu, berusaha mengingat siapa dia, namun nihil, aku tak mengenalinya. Aku memutuskan memoto surat dan foto itu dan mengirimnya pada Rendy 'apa kau tau dia siapa?' tanyaku lewat pesan singkat. Tak kusangka Rendy membalas dengan cepat, 'tidak, find out then' balasnya. Baiklah, aku sudah mendapat rencana pertamaku. Entah siapa pun yang mengirimkan ini, aku yakin aku dan dia dalam sisi yang sama.
***
"sudah kukatakan untuk berhenti"
Aku kembali mendapat telepon dari private number, suara dan intonasi dari sang penelpon masih sama seperti yang kemarin malam menelponku. Sekali lagi aku mencoba untuk tak menggubris dan fokus dengan investigasiku pagi ini dengan Rendy, hingga aku mendapat telepon dari tetanggaku bahwa separuh rumahku terbakar."apinya sudah padam, dan berasal dari dapur, perkiraan awal karena oven dan kompor anda yang masih dalam keadaan menyala ketika anda pergi" pihak pemadam menjelaskan.
Aku bahkan tidak sarapan pagi ini dan langsung ke kantor untuk bertemu Rendy, bagaimana bisa oven dan komporku menyala?'sudah kukatakan untuk berhenti' kalimat itu kembali terngiang dalam benakku. Berhenti? Sedangkan disisi lain seseorang entah siapa mendorongku untuk menyelidiki.
Give me vote!

KAMU SEDANG MEMBACA
My Senator
General FictionPROLOG (on remake) Pria itu berjalan lurus, membelah sunyi ruangan lapang sebuah gereja. Dengan jubah hitam beludru menutupi kemeja dengan warna senadanya. Jubah itu berat dengan bulir air hujan yang tidak menyerap lalu jatuh membasahi latai pualam...