Chapter IV

10.8K 762 10
                                        

BMW hitam Angky dijalankan dengan pelan dan tanpa tujuan di jalanan kota Jakarta. Kedua mata pria tampan itu hanya menengok sesekali ke sekelilingnya. Toko-toko, lampu, restoran, bioskop, perempuan, laki-laki, orangtua, anak muda, pasangan kekasih, anak kecil, dan lainnya, semua tak luput dari pengamatannya. Sejauh itu tak ada yang menarik baginya, hingga matanya tertumbuk pada sosok seseorang yang sedang berdiri bersandar pada salah satu dinding di depan sebuah gedung. 

Angky sampai nyaris memutarkan kepalanya, ketika mobilnya melewati orang itu. Dia memang takut salah melihat, tapi begitu yakin, Angky cepat menghentikan mobilnya, memarkirnya di tempat yang nyaman. Angky menarik nafasnya perlahan, merapikan rambut dan pakaiannya sebentar. Sebelum kemudian turun dari mobilnya. 

Dia sudah menyiapkan banyak perkataan di benaknya. Dia merapatkan jaket yang dipakainya dan memasukkan kedua tangannya ke dalam saku, berusaha akan bersikap sesantai mungkin. Dia tak mempedulikan debaran di dadanya yang selalu seperti ini ketika langkahnya semakin mendekat pada seseorang itu.

"Hey, Ezra?" sapanya, nyaris dengan suara yang bergetar.

Angky harap Ezra tak menyadarinya. Ezra yang tengah menyandarkan punggungnya di salah satu dinding sambil memasukkan kedua tangan ke dalam saku jaketnya juga, menoleh dengan agak terkejut. Tampaknya dia memang sedang melamun.

"Eh- Oh, elo" sahut Ezra, langsung mengulas senyuman di wajah tampannya. Benaknya agak berpikir, siapa nama pria ini, terus terang dia hanya mengingat wajah manis dan mata besarnya yang menggugah itu.

"Lagi ngapain disini?" tanya Angky lagi sambil mengamati gedung di hadapannya. Ternyata sebuah gedung tempat berlatih musik.

"Hm, nunggu orang" jawab Ezra. "Lo sendiri?"

"Gue lagi jalan-jalan"

"Oh, sendirian aja?"

Angky mengangguk sambil tersenyum, agak pahit.

"Siapa yang lo tunggu di dalem?" tanya Angky lagi, merasa penasaran.

"Temen gue. Lo inget, orang yang biasa sama gue? Ah yang waktu itu kita ketemu di café?" jelas Ezra.

Sekali lagi Angky menganggukkan kepalanya, mengerti – dia memang sudah menduganya.

"Dia kerja disini?"

"Iya, dia guru piano" 

Terus terang Angky agak tak menyangka. Seorang pemain piano kan identik dengan romantis dan siapa tahu juga kalau itu yang membuat Ezra jatuh cinta padanya... 

'Ok, itu bukan urusan gue,' gumam Angky dalam hati.

"Oh, terus lo, baru balik kerja?" Angky bertanya lagi. Dia sadar kalau obrolan mereka terlalu penuh basa-basi, tapi dia sudah sangat senang dan tak mau cepat berakhir.

"Iya. Gue kerja di studio tari..."

Untungnya Ezra pun tampak tak keberatan dengan pembicaraan basa-basi itu. Mungkin dia sudah cukup lama berdiri disana, merasa bosan, dan sekarang jadi merasa ditemani dengan adanya Angky.

"Oh, lo dancer?"

Ezra tertawa dan mengusap belakang kepalanya, tampak malu. Angky jadi tak heran kalau waktu itu di club, Ezra begitu pandai menari.

"Ah... gue ngerti sekarang" gumam

Angky akhirnya sambil ikut tertawa. Berbicara seperti ini, rasanya mereka sudah lama saling mengenal dan seperti sepasang teman, padahal waktu itu berawal dari Ezra yang menggoda Angky - bahkan mereka sempat bermesraan di back room. Angky tak mau mengungkitnya, karena Ezra pun tampak tak ambil pusing dengan semua itu. Mungkin seperti prinsip kebanyakan pria yang berada di club; keadaan saat itu – hanyalah untuk saat itu. Ketika mereka bertemu lagi di luar, akan lebih baik kalau mereka melupakan semunya.

THE HOOK UP [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang