Décès - Le Prologue

1.9K 124 13
                                    

Death, they say, acquits us of all obligations

Montaigne

Terhenyak
Terpaku
Kelu
dan entah perasaan apalagi saat menerima kabar itu.

No....! It's impossible.
No...! You lie...! ......teriakku sambil gemetar memegang ponselku.

Gak ada waktu buat meratap dan gak ada waktu untuk menangis.
Aku hanya bisa berlari menuruni tangga karena tidak sabar menunggu lift yang tidak juga berhenti di lantai bangunan tempatku bekerja.
Dan aku juga tidak memperdulikan  bahwa saat itu aku di lantai 17.

Dan aku juga tidak peduli menyerobot antrian yang menunggu taxi di area drop off. Karena aku ingin segera bergegas ke Rumah Sakit Husada yang jaraknya entah berapa kilometer dari tempatku bekerja. Yang aku tahu adalah bagaimana memaksa sopir taxi untuk mengemudi dengan cepat dari SCBD menuju Mangga Besar. Dan sepanjang jalan aku hanya bisa memukul-mukul pintu disampingku, saat lalu lintas macet disepanjang Sudirman dan Thamrin

............

Kini kudapati dirinya di ruang jenazah, dan sudah siap dipindahkan ke rumah duka.

Aku berpikir tadinya Tuhan bercanda, dan kemudian akan menghidupkannya lagi. Tapi itu tidak terjadi.

Dan dia sungguh benar-benar mati...tiada...meninggal

Wajah rupawan itu terbujur damai.
Maaf...mungkin itu perasaanku... perasaan subyektif yang muncul karena aku mencintainya.
Tanpa sedikitpun terlihat luka atau goresan yang tertinggal ditubuhnya.

Aku bahkan sampai detik ini masih berpikir, dia mungkin saat itu mati suri dan masih bisa diselamatkan.

Aku berniat untuk mendekatinya dan mengguncang-guncangkan tubuhnya agar dia terbangun.
Tapi sebelum niatan itu terlaksana, pelukan yang erat diiringi tangisan yang tiba-tiba menyeruak digendang telingaku, menghentikan itu semua.

Aku menjadi lemas bahkan bingung. Siapa saja yang memelukku dan siapa saja yang bertangisan dalam pelukanku.

Perlahan kami digiring keluar dan dipersilahkan menunggu diluar.
Menunggu?
Diluar?
Bahkan sekarang aku tidak bisa mengingat saat kejadian itu aku kemudian berada dimana. Apakah aku berada di ruang tunggu atau diluar bangunan.
Atau malah ke rumah duka?
Atau mungkin mengurus administrasi dan ikutan sibuk membantu ini itu mempersiapkan jenazah.

Itu bagian yang hilang dari ingatanku.

Satu yang kuingat dan aku pertanyakan, sudahkah ada Pastor yang memberi sakramen kematian.
Ada perasaan sakit yang luar biasa, apabila kekasihku saat menghembuskan nafasnya tanpa ditemani siapapun, tanpa diiringi doa dan tanpa pemberian sakramen kematian.

Dia yang kumiliki tiba-tiba terenggut begitu saja. Padahal pagi tadi tidak ada tanda-tanda sedikitpun. Bahkan kemarin, kemarin lusa, minggu lalu, sebulan lalu, semua berjalan biasa.
Apa aku tidak peka?
Apakah kepekaanku hilang akan perubahan sikapnya?

Dan rasa pedih itu tak jua hilang hingga detik aku tuliskan, karena itu terjadi tanpa tanda. Suatu "tanda" yang mengisyaratkan sebuah perpisahan abadi.

Sepanjang jenazah disemayamkan, tak berani sedikitpun aku mendekat. Aku berada jauh diluar.

Apa kata orang kalau mereka tahu aku adalah  kekasih "gay" nya. Walaupun keluarganya tahu dan bersikap pura-pura tidak tahu, tapi aku cukup tahu diri dan mengekang perasaanku. Dan aku hanya berani mendekati kekasihku, saat tengah malam menjelang, dimana pelayat sudah tidak ada.  Aku puaskan menatap wajahnya sebelum upacara tutup peti. Karena setelah itu aku akan lebih kehilangan lagi saat dia diperabukan.

Sungguh, aku ingin memeluknya. Aku ingin menangisinya. Aku ingin memberi nyawaku kalau bisa, agar dia bisa hidup.

Dia adalah kekasihku sejak aku SMA dan terus bertahan saat kita kuliah hingga sama-sama bekerja. Suatu jalinan kasih yang aku yakin sangat berbeda dengan gay-gay  lain. Kita bisa sekian lama bertahan dan aku tidak bisa berhenti mencintainya.

Hubungan kita bukanlah hubungan temporer yang bisa terputus karena rasa bosan. Tapi aku merasa menjadi temporer, saat Tuhan turut campur tangan dengan merenggutnya.

Sekarang aku bertanya kepada Tuhan, aku harus memulai lagi dari awal atau aku lebih baik hidup dalam kesenderianku dan menjaga monumen kekasihku?

Sementara aku di dunia harus bersusah payah untuk mendapatkan jawaban itu, kekasihku sangat beruntung, dia terbebas dari jerat masalah itu.

Rest In Peace my dearest

An ObituaryOpowieści tętniące życiem. Odkryj je teraz