"Ndu, lo masih sekolah. Tempat kerja gue harus full time. Lagian mana ada yang mau terima anak sekolahan?"Begitu Mas Abim, kakak sulungku menukas, saat aku memohon untuk direkomendasikan untuk bekerja di café tempat dia kerja.
Dia bicara sambil lalu dan setelah itu mendengus kemudian pergi keluar rumah begitu saja.
Ah, aku kembali hilang harapan dan gemetar tanganku.
Berharap pada Masku yang kedua juga gak mungkin. Dia cuma montir di bengkel yang tak jauh dari rumah. Sementara jam operasional bengkel hampir sama dengan jam sekolahku.
Kembali aku berpikir, uang hasil kerja kedua Masku dan Mama yang selama ini dikumpulkan saja masih tidak cukup menghidupi kita berlima. Apakah biaya hidup dan pendidikan sebegitu besarnya atau memang penghasilan mereka sangatlah kecil dan tidak layak? Aku tidak berani bertanya bahkan untuk mendengarkan keluhan Mama saja, aku tidak berani.
Teringat perkataan guru agama di sekolah, kalau Tuhan tidak akan memberikan cobaan melebihi kemampuan manusia.
Apakah sebenarnya kita selama ini dinilai Tuhan mampu? Perasaan, kedua Masku dan Mama sudah berupaya maksimal, tetapi tidak juga menemukan jalan yang membuat sejahtera. Ataukah sebenarnya selama ini kita dibutakan dengan kepasrahan dan kebodohan? Ataukah sebenarnya kita ditakdirkan sebagai orang miskin, agar ada keseimbangan? Dimana ada orang yang bisa disebut kaya, disitu harus ada orang miskin? Jadi jatah kita memang harus miskin, supaya orang kaya ada artinya. Tanpa orang miskin, orang kaya gak akan dapat beramal, beroleh pahala dan dapat kapling surga. Sementara orang miskin bisa mendapatkan sedekah dan zakat agar bisa berbahagia dibulan-bulan tertentu. Biar orang miskin tidak sedih terus menerus selama setahun.Naif mungkin, tapi entahlah. Pasti jawabannya itu rahasia Tuhan. Dan aku juga tidak pernah mengerti, mengapa Tuhan suka main rahasia-rahasiaan. Padahal menurutku, tanpa Tuhan bermain rahasia-rahasiaan, pun Tuhan tetaplah Yang Maha Agung.
...............
Semakin hari, aku semakin tak tega melihat raut muka Mama. Rasa lelah, sedih bercampur keriput dan uban. Beliau menjadi lebih tua sebelum masanya. Tapi aku bisa apa?
"Gus.... kamu sekolah yang bener ya! Jangan mikir yang bukan tanggung jawab kamu. Kamu dan adekmu itu masih dalam tanggung jawab Mama"
Itu selalu yang diucapkan Mama setiap hari. Dan aku muak dengan diriku sendiri yang tidak juga bisa membantu mereka.
Hingga akhirnya aku memberanikan diri mendatangi teman SD ku dulu, anak manja dari keluarga kaya, yang jarak rumahnya sekitar 5 kilometer dari rumahku. Mungkin jadi pembantu rumah tangga part time di rumahnya bisa sedikit meringankan beban Mama. Yah siapa tahu orang tuanya mau menolongku memberi pekerjaan itu.
Tiba-tiba ada perasaan ragu saat menapaki gerbang Jalan Taman Brawijaya. Deretan rumah besar itu terasa angkuh bagiku. Bahkan lidah ini berasa kelu dan bahkan tenggorokan ini terasa kering saat aku mengucap nama temanku yang manja itu, kepada satpam yang menjaga gerbang masuk. Bahkan itu terjadi lagi saat aku bertemu satpam yang menjaga rumah. Aku tak juga pernah paham, mengapa untuk masuk ke rumah temanku saja harus berlapis-lapis pengamanannya.
"Pandu?", sapa temanku itu tiba-tiba dengan nada heran, saat dia menuruni tangga depan rumah.
Sedang aku masih dipersilahkan satpam menunggu diluar pagar, menunggu ijin sang tuan rumah agar bisa masuk.
Aku hanya mengangguk lemah menatap temanku itu.
Untung dia masih mengenaliku, setelah tidak bertemu lima tahun lamanya.
"Masuklaaah...!", ajak temanku itu.
Uuuww....aku merasa jengah saat menapaki tangga dan masuk ke rumahnya. Bingung, malu, jengah dan entah apalagi. Gimana lagi? Aku merasa seperti orang yang mau mengemis. Kalau dulu, saat sama-sama masih SD, aku merasa senang saja main kesana. Tapi sekarang?
CZYTASZ
An Obituary
RandomKematian bukan sekedar kesedihan bagi yang ditinggalkan Kematian juga bukan sekedar perpindahan dari jasad menuju ke "alam lain" Tetapi kematian adalah sebuah pengabadian atau lebih tepatnya sebuah karya si mati yang dimonumenkan Sebuah cinta yang d...